Senin, 20 April 2009

Tanah Terlantar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada Bangsa Indonesia sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA. Lebih lanjut UUPA menegaskan bahwa penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.

Jatuhnya harga minyak pada awal tahun 1980-an telah mendorong pemerintah untuk mengembangkan komoditi ekspor andalan non-migas seperti perkebunan dan kehutanan guna membiayai Program Pelita. Kebijakan itu mendorong dibukanya areal hutan dan dikembangkan areal perkebunan dengan Hak Guna Usaha di luar Jawa. Dengan semakin meningkatnya pembangunan ekonomi pada periode tahun 1990-an telah mendorong berbagai pihak untuk menguasai tanah dengan skala besar dengan rencana awal untuk usaha di bidang properti, industri serta usaha perkebunan dan agrobisnis.

Di bidang usaha perkebunan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, sampai akhir tahun 2003, tercatat areal HGU dengan luas 5,27 juta hektar pada a 824 kebun dari 1 437 perusahaan. Dari areal seluas itu, tingkat pemanfaatannya sekitar 79,93 %. Terdapat sekitar 1,62 juta hektar yang belum dimanfaatkan secara ekonomis dan sekitar 58 000 hektar diokupasi rakyat. Kenyataan menunjukkan bahwa pihak yang telah diberi HGU skala besar belum memanfaatkan tanah sebagaimana mestinya, sehingga menjadi tanah kosong, tidak produktif atau dikenal sebagai tanah terlantar. Berbagai penyebab terjadinya hal itu, antara lain krisis moneter yang berkepanjangan, adanya spekulasi tanah, ketidakmampuan perusahaan dan sebagainya.

Upaya secara juridis untuk menangani tanah terlantar dan tanah kosong telah dilakukan Pemerintah, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998. PP itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah. Walaupun telah ada instrumen hukumnya, namun pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar belum sesuai yang diharapkan Hasil penelitian Puslitbang pada tahun 2000 menunjukkan bahwa pelaksanaan PP 36/98 belum efektif. Hal-hal yang masih menjadi kendala pelaksanaan peraturan itu antara lain: belum ada kesamaan persepsi terhadap tujuan peraturan tersebut, objek tanah terlantar, masalah keperdataan bekas pemegang hak, jangka waktu hak, asas publisitas, serta pendanaan untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi tanah terlantar.

Untuk mengatasi permasalahan itu, tata cara identifikasi dan penilaian tanah terlantar, telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002 tentang ketentuan Pelaksanaan PP 36/98 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam ketentuan tersebut, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai pihak yang diberi tugas dalam melaksanakan identifikasi tanah terlantar sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Keputusan Kepala BPN 24/02.

Menurut hasil evaluasi Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap pelaksanaan Kep.Ka.BPN 24/02, pada umumnya Kantor Pertanahan mengalami kendala teknis, administratif maupun dukungan pembiayaan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut. Salah satu kendala utama adalah belum jelasnya kewenangan dan mekanisme hubungan koordinatif berbagai pihak yang melibatkan instansi teknis di Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat.

Lebih lanjut, hasil evaluasi pada tahun 2003 terhadap kasus tanah terlantar HGU di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa secara teknis keberadaan tanah terlantar dapat diidentifikasi wujud dan penyebabnya. Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukan pada areal HGU itu, disebabkan adanya penjarahan kebun oleh masyarakat sehingga merubah penggunaan tanah yang semula untuk perkebunan menjadi tegalan, serta adanya sengketa di Pengadilan. Berdasarkan hasil identifikasi dan luasan tanah yang masih dikuasai secara fisik oleh perusahaan, dapat ditetapkan tindakan pengendaliannya, yaitu tindakan pengamanan, penataan dan penertiban. Walaupun telah ditetapkan arah tindakan pengendaliannya, namun langkah operasional pendayagunaan tanah terlantar itu belum dapat ditetapkan lebih konkrit karena memerlukan koordinasi dengan istansi terkait maupun Pemerintah Daerah.

Bertitik tolak dari latar belakang adanya permasalahan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai langkah koordinasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, terutama pada tanah HGU sekala besar. Pendayagunaan itu diarahkan pada upaya dengan pendekatan kelembagaan secara terpadu yang mendasarkan pada aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh disain arah kelembagaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dari ketiga aspek tersebut. Aspek juridis dalam hal ini adalah upaya untuk memperoleh dasar hukum penegasan tanah terlantar dan tindaklanjut dengan peraturan pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar secara koordinatif. Aspek sosiologis dalam hal ini adalah upaya untuk menegaskan keberadaan tanah terlantar melalui identifikasi dan penilaian lapangan secara koordinatif dengan melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat. Sedangkan aspek ekonomis dalam hal ini adalah upaya secara koordinatif pendayagunaan tanah terlantar bagi pihak yang memerlukan fasilitas pengembangan usaha dalam bentuk pola bantuan teknis, kerjasama usaha maupun pembiayaan.


1.2. Perumusan masalah

Permasalahan pokok yang dihadapi dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dewasa ini adalah bahwa pelaksanaan identifikasi mengenai keberadaan tanah terlantar belum berjalan sesuai ketentuan. Demikian pula disain tindak lanjut pendayagunaan tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif yang melibatkan pemegang hak, BPN, instansi terkait, pemerintah daerah dan masyarakat setempat belum dirumuskan secara jelas. Sehubungan dengan masalah pokok itu, penelitian mengajukan dua masalah yang memerlukan tindak lanjut kebijakan pertanahan yaitu:

(1) Bagaimana mengoperasionalkan pelaksanaan identifikasi tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif berbagai instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat ?

(2) Bagaimana merumuskan disain penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar melalui upaya pendekatan terpadu dari aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif?


1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan pokok di atas, penelitian ini bertujuan untuk

(1) Mengevaluasi pelaksanaan identifikasi tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat

(2) Merumuskan disain penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar melalui upaya pendekatan terpadu dari aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif.



1.4. Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan dokumen berupa kajian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dengan materi pokok :

(1) Pelaksanaan identifikasi tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat

(2) Rumusan disain pendayagunaan tanah terlantar melalui upaya pendekatan terpadu dari aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif.


1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini akan mengutarakan materi yang diteliti, area yang diteliti dan periode waktu penelitian.

Materi yang diteliti, meliputi:

a. Pelaksanaan identifikasi dan penilaian tanah terlantar oleh Kantor Pertanahan, yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan pelaporan serta kendala teknis, administratif maupun pembiayaannya.

b. Hasil pelaksanaan identifikasi dan penilaian, antara lain: (i) Keberadaan tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU skala besar (ii) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU, (iii) Upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang telah dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Penerima Hak atau Pihak yang menguasai tanah dan masyarakat setempat terhadap tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU sekala besar.

c. Pokok-pokok rumusan disain tanah terlantar pada tanah hak sekala besar upaya pendekatan terpadu dari (i) aspek juridis antara lain ketentuan hukum dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan identifikasi dan penilaian terlantar di berbagai instansi teknis Pusat maupun Pemerintah Daerah dan upaya tindaklanjut dengan peraturan pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar secara koordinatif, (ii) aspek sosiologis, antara lain upaya untuk menegaskan keberadaan tanah terlantar melalui identifikasi dan penilaian lapangan secara koordinatif dengan melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat, serta (iii) aspek ekonomis, antara lain upaya secara koordinatif pendayagunaan tanah terlantar bagi pihak yang memerlukan fasilitas pengembangan usaha dalam bentuk pola bantuan teknis, kerjasama usaha maupun pembiayaan.

Area yang diteliti adalah tanah HGU sekala besar dengan luasan lebih dari 25 hektar. Adapun periode waktu penelitian adalah pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar selama lima tahun terakhir, yaitu tahun 2000 s/d 2004.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


Dalam rangka memperoleh gambaran yang berkaitan dengan penelitian, dilakukan tinjauan pustaka untuk memetik intisari dari konsepsi-konsepsi yang ditetapkan dalam peraturan-perundangan, serta pemikiran-pemikiran dan hasil-hasil penelitian yang erat hubungannya dengan penelitian ini, yang telah dituangkan oleh para pemikir dan peneliti dalam berbagai tulisan. Gambaran itu meliputi: (1) kebijakan pertanahan mendukung usaha perkebunan, (2) pengaturan pertanahan dalam pengembangan perkebunan, (3) penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di areal perkebunan besar, dan (4) model penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di areal perkebunan.


2.1. Kebijakan Pertanahan Untuk Usaha Perkebunan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD 1945), menyatakan bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat di dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam hubungannya dengan tanah, untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar tersebut, ditetapkan hukum agraria nasional yang tertuang dalam UUPA yang mengatur prinsip dasar mengenai pemilikan tanah dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan. .Lebih lanjut prinsip dasar dimaksud dijabarkan secara tegas dalam Pasal 2 UUPA dalam bentuk Hak Menguasai dari Negara yang memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sebagai peraturan dasar, UUPA mengatur pokok-pokok penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pelaksanaannya lebih lanjut diatur dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada Pasal 16 UUPA ditetapkan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum, yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak-hak lain yang akan ditetapkan kemudian.
Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (selanjutnya HGU) ditetapkan dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut Pasal 28 dan 29 pengertian HGU pada intinya adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 sampai 35 tahun, yang dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 25 tahun guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, dengan paling sedikit 5 hektar. Bila luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik pertanian yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Di dalam penjelasan Pasal 29 itu dinyatakan bahwa investasi modal dan teknik pertanian yang layak itu dimaksud untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan secara efisien. Selanjutnya di dalam Pasal 34 huruf e ditegaskan bahwa HGU hapus karena tanahnya ditelantarkan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai luas maksimum HGU untuk badan hukum ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 (selanjutnya PP 40/96), yang intinya menyatakan bahwa luasan itu mempertimbangkan pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan untuk usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan. Mengenai jangka waktu yang di dalam UUPA secara teoritis dapat diperpanjang sehingga mecapai 60 tahun, dalam Pasal 8 PP 40/96 dinyatakan bahwa setelah jangka waktu HGU berakhir, pemegang hak dapat mengajukan pembaruan HGU di atas tanah yang sama. Maka secara teoritis melalui perpanjangan dan pembaruan hak, pemegang HGU dapat menguasai tanah itu selama 85 sampai 90 tahun.

PP 40/96 juga mengatur ketentuan tentang kewajiban pemegang HGU dan pencabutan HGU. Di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c dinyatakan bahwa Pemegang HGU berkewajiban mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis. Selanjutnya dalam huruf e dinyatakan bahwa Pemegang HGU wajib memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian kemapuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai pencabutan HGU, dinyatakan dalam PP 40/96 Pasal 17 ayat (1) huruf b butir 1), yang intinya menyatakan bahwa HGU hapus karena dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu karena tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14; serta ketentuan huruf e, yaitu ditelantarkan.


2.2. Pengaturan Pertanahan Dalam Pengembangan Perkebunan

Usaha perkebunan merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, pada akhir akhir tahun 2003, luas usaha di bidang perkebunan mencapai areal 17,41 juta hektar, dengan rata-rata peningkatan selama periode 2000 – 2003 sekitar 3,7 % per tahun). Dengan meningkatnya luas areal tersebut, memberi pengaruh produksi meningkat, volume ekspor dan nilai ekspor juga meningkat. Nilai ekspor yang menjadi devisa Negara pada tahun 2003 sekitar US $ 5 163 juta. Sementara itu tenaga kerja yang terserap diperkirakan sekitar 17,5 juta orang. Selanjutnya Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2003 sebesar Rp 44,94 trilyun.

Hasil usaha bidang perkebunan itu, tidak terlepas dari dukungan bidang pertanahan, khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah untuk usaha perkebunan, antara lain jenis hak atas tanahnya, luas usaha, jangka waktu, pengaturan kebun terlantar.

2.2.1. Jenis Hak Atas Tanah Untuk Perkebunan

Menurut Pasal 9 ayat (1) dan (2), Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (selanjutnya UU 18/04), menyatakan bahwa kepada pelaku usaha perkebunan diberikan hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan dan/atau Hak Pakai. Lahan HGU dapat berasal dari Tanah Negara, Lahan Kawasan Hutan dan Tanah Adat/Hak Ulayat. Pemberian hak milik untuk mendukung usaha perkebunan rakyat, perorangan secara sederhana. HGU diberikan kepada Badan Usaha di bidang perkebunan untuk areal tanah yang diusahakan tanaman perkebunan, HGB diberikan kepada Badan Usaha yang memperoleh HGU itu, untuk pembangunan pabrik dan emplasemen, dan sarana maupun prasarana pendukung usaha perkebunan

2.2.2. Luas Minimum dan Maksimum

Menurut Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 18/04, Menteri Pertanian menetapkan luas maksimum dan minimum lahan untuk usaha perkebunan berpedoman kepada jenis tanaman, ketersediaan tanah sesuai agroklimat, tingkat kepadatan penduduk, modal, kapasitas pabrik, kondisi geografis dan perkembangan geografis. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang Pedoman Perijinan Usaha perkebunan (IUP), ditetapkan ketentuan yang intinya menyatakan:

v Luas minimum usaha perkebunan yang memerlukan IUP adalah 25 Ha.

v Luas maksimum untuk setiap perusahaan atau group adalah 20 000 Ha atau 100 000 Ha untuk seluruh Indonesia untuk semua komoditi kecuali tebu, yaitu 60 000 Ha untuk setiap propinsi dan 150 000 Ha untuk seluruh Indonesia. Khusus untuk propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.

v Luas maksimum tersebut tidak berlaku untuk:
Ø Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perum dan BUMD
Ø Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat atau Daerah.
Ø Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat atau dalam rangka go public.

2.2.3. Jangka Waktu Pemberian HGU

Pasal 11 UU 18/04 menetapkan bahwa HGU untuk usaha perkebunan diberikan paling lama 35 tahun dan diperpanjang paling lama 25 tahun, selanjutnya dapat diperbarui lagi selama 35 tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan. Perpanjangan dan atau pembaruan, sesuai dengan PP 40/96 tentang Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, dapat dilakukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum HGU tersebut berakhir, dengan syarat:

v Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak.
v Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
v Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

2.2.4. Pembinaan Perusahaan Perkebunan

Pembinaan melalui SK Men.Pertanian No. 486.1/Kpts/OT.100/10/03 tentang Pedoman Klasifikasi Perusahaan Perkebunan. Pelaksanaan dilakukan Dinas Perkebunan Provinsi untuk setiap 3 tahun sekali. Aspek-aspek yang dinilai meliputi aspek manajemen, fisik kebun, pengolahan hasil, social ekonomi dan lingkungan. Dari hasil klasifikasi diperolh kebun kelas I (Baik Sekali), kelas II (Baik), kelas III (Cukup), kelas IV (Kurang) dan kebun kelas V (Kurang Sekali).

Bagi Kebun Kelas I,II dan III dapat direkomendasi untuk perpanjangan/pembaharuan HGU. Bagi kebun kelas IV dan V perlu memperbaiki kelas kebunnya untuk perpanjangan HGU. Berdasarkan Pasal 12 UU 18/04, Menteri Pertanian berwenang mengusulkan kepada instansi pertanahan untuk menghapus HGU apabila menurut penilaian Menteri, HGU yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana dipersyaratkan dan diterlantarkan selama 3 tahun berturut-turut sejak diberikan HGU-nya.


2.3. Peraturan Mengenai Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Areal Perkebunan Besar

2.3.1. Pengaturan Klasifikasi Kebun Oleh Menteri Pertanian.

Pengaturan oleh Menteri Pertanian pada dasarnya ditujukan ke arah efektifitas tanaman perkebunan pada areal tanah yang telah diberikan HGU Perkebunan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pemanfaatan tanah yang sudah memperoleh HGU sampai akhir tahun 2003 adalah 1 824 kebun dari 1 437 perusahaan, dengan luas areal 5 265 428 Ha. Pemanfaatan areal HGU mencapai sekitar 79,93 %, dengan rincian:

Ø Tanaman : 3 648 037 Ha
Ø Pabrik, Emplasemen, dll : 522 446 Ha
Ø Areal tidak mungkin ditanami (TMD) : 171 511 Ha
Ø Diokupasi rakyat : 57 902 Ha
Ø Areal Cadangan : 1 617 006 Ha

Pengaturan mengenai tanah terlantar ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Mo. 167/Kpts/KB.110/SK/Dj.Bun/4/90 tanggal 3 April 1990 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Penertiban Perkebunan Besar Kelas IV dan Kelas V. Inti pengaturan itu adalah:

v Terhadap kebun kelas IV dan V, Kepala Dinas Perkebunan melakukan peringatan secara tertulis 2-3 kali dengan selang waktu 6 bulan.

v Apabila 6 bulan sejak teguran ke 2 tidak juga berupaya melakukan perbaikan usaha perkebunannya, maka Kepala Dinas Perkebunan Provinsi setempat segera melaporkan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

v Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan setelah menerima laporan dari Kepala Dinas Perkebunan Provinsi, atas nama Menteri Pertanian mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)::

Ø Bagi Perkebunan Besar yang HGU nya masih berlaku, agar HGU tersebut segera dicabut.
Ø Bagi Perkebunan Besar yang HGU nya sudah habis masa berlaku, agar HGU tersebut diperpanjang.diperbarui

Pemanfaatan lebih lanjut tanah perkebunan yang terlantar itu adalah untuk : program pengembangan Perkebunan Rakyat atau tetap sebagai Perkebunan Swasta atau keperluan lain yang ditetapkan kemudian.

2.3.2. Peraturan Pemerintah Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP 36/98)

Latar belakang diterbitkannya PP 36/98 adalah adanya bidang tanah yang keadaannya terlantar yang jika tidak ditangani dapat mengganggu pembangunan, karena kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaannya relatif terbatas. Adanya tanah terlantar di daerah pedesaan dapat mengganggu kelestarian swasembada pangan, sedang di daerah perkotaan dapat menimbulkan daerah kumuh dan mengurangi estetika dan efisiensi penggunaan tanah.
Akibat hukum penelantaran tanah HGU telah ditetapkan secara umum dalam Pasal 15, Pasal 27 dan Pasal 34 UUPA serta Pasal 17 PP 40/96, yang saksinya adalah dicabutnya HGU tersebut. Namun kriteria yang dapat dijadikan ukuran bahwa sebidang tanah diterlantarkan sehingga menjadi tanah terlantar belum ditentukan secara tegas. Ketentuan Pasal 27 UUPA hanya menyebutkan bahwa tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Tidak adanya kriteria yang jelas mengenai tanah terlantar menyebabkan ketentuan hukum mengenai tanah terlantar tidak dapat diterapkan dengan baik.

PP 36/98 menetapkan pengertian tanah terlantar, kriteria, tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar serta tindakan terhadap tanah terlantar. Di dalam PP itu juga mengatur ketentuan tentang kemampuan ekonomi pemilik tanah. penetapan waktu sebidang tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar serta pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemegang hak agar tidak dinyatakan sebagai tanah terlantar.

Dalam Ketentuan Umum PP 36/98 yang dimaksud dengan tanah terlantar
adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut ketentuan pada Pasal 3 intinya menyatakan bahwa tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.

Adapun kriteria tanah terlantar pada tanah dengan HGU ditetapkan dalam Pasal 5 yang intinya menyatakan:

(1) Tanah HGU tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah HGU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memenuhi kriteria tanah terlantar, maka hanya bagian tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Identifikasi keberadaan tanah terlantar ditetapkan dalam Pasal 9, oleh Kepala kantor Pertanahan. Identifikasi itu, meliputi keterangan subjek dan objeknya serta keadaan yang menyebabkan tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam pelaksanaan Menteri yang membidangi Pertanahan membentuk Panitia Penilai yang diketuai Kepala Kantor Pertanahan dan beranggotakan wakil dari instansi terkait.

Apabila hasil penilaian tersebut memenuhi kriteria sebagai tanah terlantar, maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi agar pemegang hak itu diberi peringatan tertulis dengan jangka waktu tertentu sudah ada upaya menggunakan tanahnya sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya. Pendayagunaan tanah tersebut di bawah bimbingan instansi teknis yang bersangkutan.

Sebelum dikenakan tindakan hukum tanah terlantar, yaitu berupa pencabutan hak, kepada pemegang hak atas tanah diberi waktu yang cukup leluasa untuk mendayagunakan tanahnya. Peringatan pertama diberi kesempatan selama 12 bulan. Peringatan kedua juga diberi kesempatan 12 bulan. Apabila dalam jangka waktu dua tahun sejak diberi peringatan tidak ada tanggapan pemegang hak, maka Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi melaporkan hal itu kepada Menteri atau Kepala BPN disertai usul agar tanah tersebut dinyatakan terlantar. Selanjutnya Menteri/Kepala BPN memberi kesempatan dalam jangka waktu tiga bulan kepada pemegang hak atas tanah yang dinyatakan terlantar agar mengalihkan hak atas tanahnya melalui pelelangan umum.

Tindakan terhadap tanah terlantar sebagai dikuasai langsung oleh Negara. Selanjutnya kepada pemegang hak atas tanah diberi ganti rugi sebesar harga perolehan atau penilaian lain yang jumlahnya ditetapkan Menteri/Kepala BPN. Sumber biaya untuk ganti rugi dibebankan kepada pemegang hak atas tanah yang baru.


2.3.3. Ketentuan Pelaksanaan PP 36/98 (SK Kepala BPN 24/02).

Pengaturan oleh Kepala BPN pada dasarnya ditujukan ke arah operasionalisasi PP 36/98 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Materi pengaturan meliputi: (1) tata cara identifikasi tanah terlantar, (2) tata cara penilaian tanah terlantar, (3) tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar,(4) penetapan tindakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar) dan (5) peran serta masyarakat. Berikut diuraikan secara ringkas materi tersebut. SK Kepala BPN 24/02 diterbitkan 31 januari 2002.

(1) Tata Cara Identifikasi Tanah Terlantar.

Identifikasi tanah terlantar berkaitan dengan HGU adalah kegiatan pemantauan, pendataan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikuasai dengan HGU dalam rangka penertiban dan pendayagunaannya. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kepala kantor Pertanahan operasionalisasinya dengan membentuk Satuan Tugas Identifikasi. Jangka waktu identifikasi untuk HGU adalah lima tahun setelah diterbitkan sertipikat HGU. Kegiatan identifikasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan pelaporan.

Kegiatan perencanaan meliputi: (a) pengumpulan data dan peta terkait subjek dan objek hak atas tanah, (b) penentuan lokasi prioritas untuk diidentifikasi, (c) penyusunan rencana kerja, (d) penyiapan bahan dan materi serta tenaga dan administrasi pendukung serta (e) pemberitahuan kepada pemegang hak atas tanah yang akan diidentifikasi.

Kegiatan pelaksanaan meliputi pengumpulan data dan pengecekan lapang mengenai: (a) keterangan subjek dan objek, (b) keadaan yang menyebabkan tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar, (c) jumlah bidang dan luas tanah-tanah yang sudah dimiliki, selain yang diidentifikasi serta (d) permasalahan dan upaya penyelesaiannya.

Kegiatan pengolahan dan identifikasi dilaksanakan dengan kriteria sebagaimana ditetapkan PP 36/98. penggunaan kriteria itu, dengan memperhatikan: (a) penggunaan tanah saat ini, (b) kesesuaian dengan RTRW, (c) kesesuaian dengan site-plan proposal saat permohonan hak atas tanah, (d) peruntukan tanah, (e) persyaratan dalam SK pemberian hak atas tanah dan (f) hal lain sesuai kondisi setempat.

Kegiatan pelaporan identifikasi berupa Fakta dan Penjelasan mengenai kondisi pemanfaatan tanah berupa peta maupun narasi.


(2) Tata Cara Penilaian Tanah Terlantar

Penilaian tanah terlantar dilakukan oleh Panitia Penilai di tingkat kabupaten/kota yang bertugas melaksanakan penilaian terhadap hasil identifikasi tanah terlantar. Panitia itu ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, yang diketuai Kepala Kantor Pertanahan dan Wakil Ketua Pejabat BAPPEDA, Sekretaris Kepala Seksi PGT dan PPT, dengan anggota instansi terkait antara lain Dinas PU, Pendapatan Daerah, Perkebunan serta Kepala Seksi HHT dan P & PT.

Hasil identifikasi dinilai oleh Panitia Penilai dengan merumuskan saran tindak terhadap pemanfaatan tanah oleh Pemegang Hak Atas tanah serta langkah-langkah penanganan pendayagunaan tanah dengan melibatkan instansi terkait. Hasil penilaian disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dengan tembusan ke Bupati/Walikota

(3) Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Setelah menerima laporan hasil penilaian tanah terlantar dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi mengevaluasi usul dan saran tindak yang perlu ditangani serta menetapkan tindakan dan langkah penanganan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai kriteria.pada PP 36/98. Selanjutnya memberitahu penetapan penertiban dan pendayagunaan tanah kepada Pemegang hak Atas tanah dengan tembusan ke Bupati/Walikota dan instansi terkait. Secara berkala setiap 3 bulan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi menyampaikan laporan kepada Kepala BPN dengan tembusan Gubernur.

Dalam hal lokasi tanah terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau merupakan asset BPPN atau penetapan berdampak kerawanan sosial yang cukup besar pada masyarakat luas, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dengan SK Gubernur dapat membentuk Panitia Penilai Provinsi, Tindakan dan langkah penanganan oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam bentuk rekomendasi, pembinaan dan peringatan.

Rekomendasi diberikan jika Pemegang HAT telah mengusahakan tanahnya di atas 50 persen dan terdapat beberapa syarat yang belum dipenuhi. Dalam jangka waktu 12 bualan, Pemegang HAT harus melaksanakan rekomendasi tersebut. Pembinaan diberikan jika Pemegang HAT tidak mampu dari segi ekonomis, tidak melaksanakan pemeliharaan dan menggunakan tanah tidak sesuai dengan RTRW. Pembinaan itu meliputi pembinaan teknis penggunaan tanah, konservasi tanah dan lingkungan hidup serta fasilitas bantuan permodalan atau kerjasama pemanfaatan tanah dengan pihak lain.

(4) Penetapan Tindakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Apabila semua tindakan dan langkah penanganan dalam bentuk rekomendasi, pembinaan dan peringatan tidak ditanggapi Pemegang HAT, Kepala BPN atas usul Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi menetapkan bidang tanah sebagai Tanah Terlantar, setelah Pemegang HAT diberi kesempatan selama tiga bulan untuk melakukan pelelangan umum. Tanah terlantar itu dikuasai langsung oleh Negara dan selanjutnya diatur pendayagunaannya melalui bentuk: (a) kemitraan, (b) redistribusi tanah, (c) konsolidasi tanah atau pemberian hak atas tanah kepada pihak lain. Kepada bekas Pemegang HAT yang tanahnya dinyatakan terlantar, diberi ganti rudi sesuai ketentuan PP 36/98.

(5) Peran Serta Masyarakat.

Masyarakat sekitar lokasi dapat berperan serta dalam bentuk melaporkan keberadaan yanah terlantar serta mengusulkan pemanfaatan tanah sesuai peraturan dan kebutuhan setempat. Laporan dan usulan itu disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Bupati/Walikota, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi serta Gubernur.

2.4. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Areal Perkebunan

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada akhir Tahun 2003 terdapat sekitar 57 902 Ha areal HGU perkebunan besar yang diokupasi rakyat dan tergolong tanah terlantar karena dimanfaatkan tidak sesuai dengan peruntukkan hak atas tanahnya. Keadaan yang bersifat indikasi di seluruh Indonesia itu, secara rinci telah didata dalam suatu studi kasus di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat oleh Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat pada Tahun 2004.
Hasil evaluasi terhadap 34 HGU perkebunan skala besar dengan luas sekitar 25 623 hektar, sebagian besar seluas 23 732 hektar (92,62 %) adalah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Meskipun sebagian kebun tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, namun keberadaan kebun itu masih dapat ditolerir. Sementara itu, dari aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah, sekitar 15 791 hektar sesuai dengan tujuan pemberian haknya, 8 315 hektar penggunaan tanahnya mendukung peruntukan HGU, dan terdapat sekitar 1 517 hektar areal HGU yang tidak digunakan sesuai peruntukan HGUnya. Pada umumnya perusahaan pemegang HGU menguasai sebagian besar tanahnya. Dari 34 perusahaan pemegang HGU menunjukkan tanah yang masih dikuasai perusahaan meliputi areal seluas 20 575 hektar atau sekitar 80 % areal HGU. Terdapat lima perusahaan yang tidak lagi menguasai tanah HGU yang dimiliki. Penyebab utamanya adalah penjarahan oleh masyarakat, seperti pada areal perkebunan Cigombong milik PT Cikenceng dan perkebunan Mariawati milik PT Mutiara Bumi Parahyangan.
:
Hasil evaluasi Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Hasil evaluasi pelaksanaan Kep.Ka.BPN 24/02, pada umumnya Kantor Pertanahan mengalami kendala teknis, administratif maupun dukungan pembiayaan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut. Kendala internal di BPN, antara lain belum jelasnya unit kerja yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, terbatasnya tenaga pelaksana serta belum jelasnya pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Di samping itu kendala eksternal antara lain mekanisme hubungan koordinatif berbagai pihak yang melibatkan instansi teknis di Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat.

Lebih lanjut evaluasi pada tahun 2003 terhadap tanah terlantar HGU di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa secara teknis keberadaan tanah terlantar dapat diidentifikasi wujud dan penyebabnya. Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukan pada areal HGU itu, disebabkan adanya penjarahan kebun oleh masyarakat sehingga merubah penggunaan tanah yang semula untuk perkebunan menjadi tegalan, serta adanya sengketa di Pengadilan.

Berdasarkan hasil identifikasi dan luasan tanah yang masih dikuasai secara fisik oleh perusahaan, dapat ditetapkan tindakan pengendaliannya, yaitu tindakan optimalisasi, penertiban dan konversi. Optimalisasi dimaksud untuk memelihara penggunaan tanah yang ada agar sesuai dengan peruntukan HGU serta menambah kesuburan tanahnya. Penertiban dimaksud untuk menyesuaikan penggunaan tanah saat kini dengan peruntukan HGU agar tujuan pemberian HGU dapat tercapai. Konversi dimaksud untuk merubah penggunaan tanah yang ada agar sesuai dengan peruntukan HGU.

Secara operasional, tanah-tanah HGU yang penggunaan tanahnya melebihi 75 % merupakan tanah kosong, tegalan atau semak belukar dapat digolongkan terindikasi tanah terlantar. Rekomendasi yang diberikan terhadap tanah-tanah tersebut adalah:

a. Optimalisasi, apabila areal HGU lebih 75 % ditanami dengan tanaman pokok
b. Penertiban, apabila areal HGU 50-75 % ditanami dengan tanaman pokok
c. Konversi, apabila areal HGU kurang dari 50 % ditanami dengan tanaman pokok

Walaupun telah ditetapkan arah tindakan pengendaliannya, namun langkah operasional pendayagunaan tanah terlantar itu belum dapat ditetapkan lebih konkrit karena memerlukan koordinasi dengan istansi terkait maupun Pemerintah Daerah.

BAB III
KERANGKA PENDEKATAN


3.1 Pendekatan Penelitian

Secara filosofis, penguasaan dan pemanfaatan tanah sesuai UUPA harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah, yang selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.

Dalam kenyataan menunjukkan bahwa terdapat beberapa pihak yang telah diberi HGU skala besar belum memanfaatkan tanah sebagaimana mestinya, sehingga menjadi tanah kosong, tidak produktif atau dikenal sebagai tanah terlantar. Berbagai penyebab terjadinya hal itu, antara lain krisis moneter yang berkepanjangan, adanya spekulasi tanah, ketidakmampuan perusahaan dan sebagainya.

Upaya secara juridis untuk menangani tanah terlantar dan tanah kosong telah dilakukan Pemerintah, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998. PP itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah. Melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002 tentang ketentuan Pelaksanaan PP 36/98 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, ditetapkan bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai pihak yang diberi tugas dalam melaksanakan identifikasi tanah terlantar .

Secara internal, pada umumnya Kantor Pertanahan mengalami kendala teknis, administratif maupun dukungan pembiayaan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut. Di samping itu juga unit kerja yang menangani masalah penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar belum ditetapkan secara jelas dalam struktur organisasi BPN. Sedangkan secara ekternal salah satu kendala utama adalah belum jelasnya kewenangan dan mekanisme hubungan koordinatif berbagai pihak yang melibatkan instansi teknis di Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat.

Kajian lebih lanjut mengenai langkah koordinasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, terutama pada tanah HGU sekala besar diarahkan pada upaya dengan pendekatan kelembagaan secara terpadu yang mendasarkan pada aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh disain arah kelembagaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dari ketiga aspek tersebut.

Aspek juridis dalam hal ini adalah upaya untuk memperoleh dasar hukum penegasan tanah terlantar dan tindaklanjut dengan peraturan pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar secara koordinatif. Aspek sosiologis dalam hal ini adalah upaya untuk menegaskan keberadaan tanah terlantar melalui identifikasi dan penilaian lapangan secara koordinatif dengan melibatkan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat. Sedangkan aspek ekonomis dalam hal ini adalah upaya secara koordinatif pendayagunaan tanah terlantar bagi pihak yang memerlukan fasilitas pengembangan usaha dalam bentuk pola bantuan teknis, kerjasama usaha maupun pembiayaan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, selanjutnya diatur pendayagunaannya melalui bentuk: (1) kemitraan, (2) redistribusi tanah, (3) konsolidasi tanah atau (4) pemberian hak atas tanah kepada pihak lain. Kepada bekas Pemegang HAT yang tanahnya dinyatakan terlantar, diberi ganti rudi sesuai ketentuan PP 36/98.

Kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 3-1.

Aspek-Aspek yang Perlu Dipertimbangkan:
Juridis
Sosiologis
Ekonomis
Keberadaan Tanah Terlantar di Areal HGU Perkebunan
Kebijakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Pelaksanaan Penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar di Areal HGU Perkebunan
Kebijakan Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah untuk Usaha Perkebunan HGU Skala besar



































Alternatif Model Pendayagunaan

Kemitraan Pengusaha denagan Masyarakat




Redistribusi Tanah

Konsolidasi Tanah sekitar kebun

Pemberian HGU kepada pihak lain



Gambar 3-1: Kerangka Pikir Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar di Areal HGU Perkebunan









3.2. Metoda penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi Kalimantan Selatan digunakan sebagai lokasi uji coba dan test questionair. Di setiap provinsi ditetapkan lokasi HGU di wilayah kabupaten yang dapat mewakili pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Penetapan lokasi HGU itu sampel akan ditetapkan bersama dengan Kantor Wilayah BPN Provinsi.


3.2.2 Data Yang Digunakan dan Cara Perolehannya

Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa: (1) daftar HGU Perkebunan di wilayah provinsi, (2) daftar HGU Perkebunan yang terlantar, (3) daftar hasil identifikasi dan penilaian keberadaan kebun yang terlantar,(4) data pelaksanaan tindak lanjut penanganan oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi. Data sekunder diperoleh dari Kantor Wilayah BPN Provinsi, Dinas Perkebunan Provinsi dan Kantor pertanahan Kabupaten.
Data primer dilakukan dengan cara memperoleh informasi melalui Focus Discussion Group (FGD) di Kantor Wilayah BPN Provinsi dan melalui kuesioner yang diisi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. Daftar isian tersebut terlampir.

3.2.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Contoh

Satuan unit yang diteliti adalah kebun terlantar yang telah memperoleh HGU. Areal itu ditetapkan setelah memperoleh konfirmasi dari peta penggunaan tanah dan peta kebun terlantar serta data pendukung dari Kantor Wilayah BPN Provinsi, Dinas Perkebunan Provinsi dan Kantor pertanahan Kabupaten

Populasi tanah terlantar di areal perkebunan ditetapkan berdasarkan keberadaan kebun terlantar di seluruh wilayah provinsi. Selanjutnya berdasarkan
Konfirmasi dengan Kantor Wilayah BPN Provinsi ditetapkan 1 – 2 lokasi kebun dengan beberapa pertimbangan antara lain: sudah dilakukan identifikasi dan penilaian, sudah ada tindakan penanganan dan atau sudah melakukan revitalisasi kebun dengan salah satu alternative pendayagunaan, yaitu dengan pola (1) kemitraan, (2) redistribusi tanah, atau pola (3) konsolidasi tanah.

3.2.4 Metoda Analisis dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mempelajari kasus keberadaan tanah terlantar di areal perkebunan, menjelaskan secara sistimatis dan akurat mengenai fakta sebab dan akibatnya, serta tindakan yang telah dilakukan dan implikasinya.
Ciri-ciri tipe penelitian ini berkaitan dengan pelaksanaan studi, antara lain: (a). mencari informasi fakta secara rinci dengan mengamati gejala yang ada, (b) mengidentifikasi masalah untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan praktek pelaksanaan identifikasi dan penilaian tanah terlantar (c) membuat komparasi dan evaluasi keadaan yang terjadi beserta implikasinya (d) membuat rangkuman kesimpulan serta rekomendasi dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.


BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Tentang HGU Perkebunan

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, pada Tahun 2001 luas perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar di Indonesia sekitar 14,45 juta hektar atau sekitar 7,58 % luas wilayah Indonesia. Sebagian besar perkebunan itu terdapat di Sumatera dengan luas sekitar 9,76 juta hektar atau sekitar 67,55 % total perkebunan. Jawa dan Bali hanya seluas 690 270 hektar atau sekitar 4,71 % total perkebunan.

Dari luas perkebunan itu, sekitar 4,56 juta hektar (31,53 %) adalah HGU dan lainnya adalah perkebunan rakyat (68,47 %). Penyebaran HGU yang terluas adalah di Sumatera, yaitu 2,38 juta hektar (24,42 % luas perkebunan). Di Jawa , walaupun luasnya hanya sekitar 0,60 juta hektar, namun sebagian besar (87 %) merupakan perkebunan skala besar dengan 1 108 HGU (45 % total perusahaan HGU) Keadaan yang digambarkan pada Tabel 4-1 itu, menunjukkan bahwa perkebunan yang merupakan komoditi strategis itu, potensinya menyebar tidak merata, demikian pula perusahaan HGUnya.

Tabel 4-1: Luas Perkebunan dan HGU Perkebunan Menurut Wilayah

No
Wilayah
Luas Wilayah (Ha)
Luas Perkebunan
Luas HGU Perkebunan
Ha
% Perke-bunan
Ha
% HGU
% Perke-bunan
1
Sumatera
47 339 730
9 763 280
67,55
2 383 834
52,31
24,42
2
Jawa dan Bali
13 337 370
690 270
4,71
598 687
13,14
86,73
3
Kalimantan
53 629 270
614 270
4,25
502 980
11,04
81,88
4
Sulawesi
19 614 310
1 944 040
13,45
246 811
5,42
12,70
5
Nusa Tenggara dan Maluku
15 323 120
1 244 010
8,61
806 750
17,70
64,85
6
Papua
41 480 010
197 880
1,37
17 802
0,39
9,00

Indonesia
190 923 810
14 453 750
100,00
4 556 863
100,00
31,53
Sumber: Himpunan Pidato Kepala BPN, 2001


4.2. Tanah Terlantar di Areal HGU Perkebunan


4.2.1 Tanah Terlantar di Provinsi Kalimantan Selatan

Luas wilayah Proninsi Kalimantan Selatan sekitar 3.753.052 hektar. Secara administratif terdiri 11 wilayah kabupaten dan dua wilayah kota. Jumlah penduduk sekitar 3.240.677 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 87 jiwa per km2. Pertumbuhan penduduk sebesar 1,40 % per tahun. Jumlah penduduk yang bermukim di perkotaan 1.166.643 jiwa (36 %), dan di perdesaan 2.074.034 jiwa (64 %).
Kondisi fisik wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar (43,05 %luas wilayah adalah datar dan landai dengan kemiringan 2 – 8 %; selebihnya berbukit dan bergunung dan di beberapa tempat berlereng terjal. Penggunaan tanah di Kalimantan Selatan yang paling luas adalah hutan 1.614.261 Ha (43,01 %), kemudian padang 833.711 Ha (22,21 %), perkebunan 433.699 Ha (11,56 %). Selebihnya berupa permukiman, sawah, tanah kering (tegalan), areal industri dan lain-lain.. Penggunaan tanah yang berupa padang (semak, alang-alang, rumput) itu, diperkirakan sebagian besar dikuasai oleh penduduk setempat, dan sebagian besar belum terdaftar hak atas tanahnya. Sebagian lagi dari areal itu, penguasaannya oleh perusahaan-perusahaan yang berinvestasi, baik di sub sektor perkebunan, pertanian tanaman pangan, maupun sub sektor perikanan/tambak. Selanjutnya dari luas perkebunan yang ada, sekitar 65 persen atau seluas 267.462 Ha adalah perkebunan yang dibangun perusahaan, selebihnya merupakan kebun rakyat/perorangan. Letak penyebaran perkebunan ini di sebelah Selatan dan Timur dari Propinsi Kalimantan Selatan.
Jumlah HGU di Kalimantan Selatan saat ini sebanyak 124 perusahaan dengan luas 267.462 hektar. Terdapat 43 HGU yang diindikasikan terlantar. dengan luas keseluruhan 89.420 hektar dan luas 75.716 hektar (85 %) areal yang diindikasikan terlantar. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 4-2.

Tabel 4-2: Inventarisasi Tanah HGU Yang Diduga Terlantar
di Provinsi Kalimantan Selatan

No
Kabupaten/Kota
Jumlah Perusahaan
Luas HGU (Ha)
Luas Yang Sudah Dibangun
Luas Diduga Terlantar
(Ha)
(Ha)
(%)
1
Kotabaru dan Tanah Bumbu
2
11 128,00
0,00
0,00
11 128,00
2
Tanah Laut
30
34 975,40
10 327,00
10,87
24 648,40
3
Banjar
3
1 792,53
0,00
0,00
1 792,53
4
Tapin
2
7 428,00
0,00
0,00
7 428,00
5
Tabalomg
2
4 110,19
0,00
0,00
4 110,19
6
Hulu Sungai Utara dan Balangan
2
13 063,00
2 416,00
18,49
10 647,00
7
Hulu Sungai Tengah
1
533,65
160,00
29,98
373,65
8
Hulu Sungai Selatan
0
0,00
0,00
0,00
0,00
9
Barito Kuala
1
15 989,00
401,00
2,51
15 588,00
10
Banjarmasin
0
0,00
0,00
0,00
0,00
11
Banjarbaru
0
0,00
0,00
0,00
0,00

J u m l a h
43
89 419,77
13 704,00
15,33
75 715,77
Sumber : Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Selatan

Dari 43 (empat puluh tiga) HGU yang diindikasikan terlantar tersebut, ada 3 (tiga) yang telah diidentifikasi. Hasil-hasil identifikasi terhadap tanah perkebunan yang diindikasikan terlantar di Propinsi Kalimatan Selatan adalah PT. Sapto Argo Unggul yang berada di Hulu Sungai Tengah dengan HGU No. 1/U/1987 seluas 533 hektar, yang digarap masyarakat sekitar 57 hektar (karet 50 hektar, pekarangan 2 hektar, kebun campuran 5 hektar), dan semak 476 hektar. PT. Chioda Bakti dengan luas 310 hektar dengan rincian 308 hektar berupa ladang, 2 hektar pekarangan. PT. Delta Kalimantan dengan HGU No.188/1988 seluas 80 hektar dengan penggarapan perusahaan 7 hektar, dikuasai oleh masyarakat ladang 5 hektar, sisanya berupa alang-alang.

a. Kasus HGU PT Sapto Agrro Unggul

PT. Sapto Agro Unggul, adalah perusahaan perkebunan cacao (coklat), terletak di Kecamatan Batang Alai Selatan Hulu Sungai Tengah, dengan status Hak Guna Usaha No. 1/U/1987 tanggal 22 Mei 1987 dan Nomor 2/U/1987 tanggal 22 Mei 1987. Perkebunan ini pernah ditanami seluas 205 hektar pada tahun 1985, namun setelah itu tidak terlihat aktifitas lagi di atasnya. Faktor-faktor penyebab terlantarnya perkebunan tersebut adalah kegagalan manajemen/pengelolaan dan kualitas cacao/harga jual yang rendah. Adapun upaya penertiban yang telah dilakukan diantaranya dengan berupa Surat Kepala Dinas Perkebunan Prop.Kal-Sel tgl.28-8-1996 perihal pencabutan HGU dan Surat Bupati Hulu Sungai Tengah tgl.20-5-2000 perihal usul pencabutan HGU dan Surat Kakanwil BPN Prop.Kal-Sel tgl.5-11-2001 perihal usul pencabutan HGU. Hasil yang diperoleh dari upaya penertiban tanah yang diindikasikan ini adalah nihil, meskipun secara riel tanah telah digarap petani setempat dengan tanaman tegalan, sedangkan tanaman karet yang ada disadap petani.

b. Kasus HGU PT Chioda Bakti.

PT.Chioda Bakti, sebuah perusahaan perkebunan Rosella di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan, dengan HGU No. 7/U/1979. Faktor-faktor yang menyebabkan terlantarnya tanah adalah kualitas harga serat Rosella kalah bersaing dengan plastik, dan pemasaran serat Rosella yang tidak jelas. Upaya penertiban yang dilakukan adalah dilakukannya identifikasi oleh Tim Identifikasi Tanah Terlantar Kabupaten Tanah Laut tgl.14-7-2003, teguran dari Bupati Tanah Laut, serta upaya pemanfaatan tanah kosong dengan tanaman jagung yang dikoordinasikan Bupati Tanah Laut.

c. Kasus PT.Delta Kalimantan Lestari

PT.Delta Kalimantan Lestari, perusahaan Tambak Udang di Takisung Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan selaku pemegang HGU No.1/U/1988 seluas 80 hektar. Faktor-faktor yang menyebabkan terlantarnya tanah tersebut adalah kualitas dan harga udang kurang kompetitif di pasar internasional/nasional, biaya pengelolaan yang tinggi, dan manajemen kurang baik. Upaya penertiban yang telah dilakukan adalah dengan dilakukannya identifikasi oleh Tim Identifikasi Tanah Terlantar Kabupaten Tanah Laut, pemberian Surat Peringatan dari Bupati Tanah Laut, dan pemanfaatan tanah kosong untuk tambak oleh petani tambak setempat yang dikoordinir oleh Bupati.


4.2.2 Tanah Terlantar di Provinsi Sulawesi Selatan

Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 6.236.171 hektar. Secara administratif wilayahnya terdiri dari 23 kabupaten dan 2 kota. Jumlah penduduk Proninsi Sulawesi Selatan pada tahun 2003 sekitar 7.960.991 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 127,66 jiwa per km2. Pola penggunaan tanahnya, menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah di Provinsi Sulawesi Selatan masih didominasi oleh hutan lebat dan semak belukar dengan luas ± 40.344 Km2 atau ± 64,57 % dari luas wilayahnya. Areal pemukiman sekitar 1.491 Km2 (± 2,39 %), tanah pertanian dan kebun campuran ± 14.089 Km2 (± 22,55 %), perkebunan seluas 3.515 Km2 (± 5,63 %). Sedangkan tanah tandus, perairan (danau, sungai) dan lain-lain penggunaan sekitar 2.944 Km2 (± 4,71 %)

Sementara itu, Kabupaten Gowa yang menjadi lokasi penelitian mempunyai luas wilayah ± 188.333 hektar, dimana secara administrasi terbagi menjadi 12 kecamatan dan 151 desa/kelurahan. Berdasarkan data yang ada, sampai dengan tahun 2003 penduduknya berjumlah 641.951 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduknya rata-rata sebesar 340,86 jiwa per km2. Luas kawasan hutan di Kabupaten Gowa sekitar ± 27,61 % dari luas wilayahnya (± 52.102 Ha), sedangkan kawasan budidaya sekitar 72,39 % dari luas wilayah. Kawasan budidaya lebih didominasi areal pertanian (baik tegalan maupun sawah) yang mencapai luas ± 45,02 %, pemukiman/perumahan (± 8,60 %), kebun campuran (±6,76 %) dan penggunaan lainnya (± 9,50 %) .

Dari data di atas terlihat bahwa perekonomian dan perkembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Gowa sampai saat ini masih bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Kondisi tersebut tampaknya mewakili kondisi Indonesia pada umumnya yang juga masih didominasi dengan kegiatan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan.

Jumlah sertipikat HGU yang telah diterbitkan di Provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 2003 sebanyak 195 HGU yang meliputi luas tanah ± 169.484 hektar. Kabupaten yang terbanyak penerbitan HGU-nya adalah Kabupaten Bone sebanyak 51 HGU, lalu Kabupaten Sidrap (24 HGU) dan Kabupaten Luwu (23 HGU). Sedangkan bila dilihat dari luasnya terdapat di Kabupaten Mamuju (± 45.550 Ha), Sidrap (± 24.464 Ha) dan Kabupaten Bone (± 18.731 Ha).

Pada tahun 2003, beberapa Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang ada di lingkungan Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Selatan sudah melakukan kegiatan inventarisasi/identifikasi pemanfaatan HGU. Dari 16 kabupaten yang ada areal HGU-nya, sebanyak 12 kabupaten (± 75,0 %) telah melakukan kegiatan tersebut terhadap 70 HGU (± 35,90 %) yang meliputi luas areal ± 46.444 Ha atau ± 27,40 % dari luas HGU yang ada. Hasil kegiatan inventarisasi/ identifikasi menunjukkan bahwa dari luas HGU ± 46.444 Ha terdapat sebanyak ± 24.143 Ha (± 51,98 %) diindikasikan terlantar. Hasil-hasil inventarisasi terhadap tanah perkebunan yang diindikasikan terlantar di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 4-3.


Tabel 4-3: Jumlah dan Luas HGU serta Hasil Inventarisasi Pemanfaatannya
di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003

No.
Kabupaten/ Kota
HGU
Kegiatan Inventarisasi HGU
Jumlah
Luas (Ha)
Jumlah
Luas (Ha)
Diindikasikan Terlantar
Luas (Ha)
%
1
Kab. Bantaeng
-
-
-
-
-
-
2
Kab. Barru
-
-
-
-
-
-
3
Kab. Bone
51
18.731,27
9
3.106,08
1.339,50
43,13
4
Kab. Bulukumba
5
6.194,46
5
6.194,83
900,00
14,53
5
Kab. Enrekang
5
6.280,51
5
6.280,51
2.335,51
37,19
6
Kab. Gowa
13
13.322,00
4
432,05
43,21
10,00
7
Kab. Jeneponto
4
1.419,97
4
1.419,97
1.396,84
98,37
8
Kab. Luwu
23
17.417,29
-
-
-
-
9
Kab. Majene
-
-
-
-
-
-
10
Kota Makassar
-
-
-
-
-
-
11
Kab. Mamuju
14
45.550,14
5
654,57
199,99
30,55
12
Kab. Maros
9
695,44
9
695,44
43,57
6,27
13
Kab. Pangkep
-
-
-
-
-
-
14
Kota Pare-Pare
-
-
-
-
-
-
15
Kab. Pinrang
8
3.683,44
4
1.539,00
1.139,00
74,01
16
Kab. Polmas
2
219,00
-
-
-
-
17
Kab. Selayar
-
-
-
-
-
-
18
Kab. Sidrap
24
24.464,27
10
19.810,00
12.858,00
64,91
19
Kab. Sinjai
-
-
-
-
-
-
20
Kab. Soppeng
2
1.230,91
-
-
-
-
21
Kab. Takalar
11
7.732,72
1
132,37
132,37
100,00
22
Kab. Tanatoraja
13
6.393,74
10
5.889,56
3.476,24
59,02
23
Kab. Wajo
5
15.798,30
-
-
-
-
24
Kab. Luwu Utara
6
350,94
4
289,18
278,88
96,44
25
Kab. Palopo
-
-
-
-
-
-
Total
195
169.484,40
70
46.443,56
24.143,11
51,98
Persentase


35,90
27,40


Sumber: Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Selatan, 2003, diolah

Dari hasil identifikasi tersebut diperoleh gambaran bahwa tanah-tanah yang sudah diterbitkan HGU-nya begitu luas tidak termanfaatkan sesuai tujuan pemberian haknya. Ada beberapa faktor penyebab di antaranya adalah:

Sebagian tanahnya dikuasai/dirambah/digarap oleh masyarakat
Tidak adanya aktivitas di atas tanah tersebut sesuai peruntukannya
Kurang optimalnya pengolahan tanahnya oleh pemegang HGU
Ada yang diklaim oleh masyarakat adat setempat
Sebagian tanahnya tidak diolah karena faktor teknis
Kekurangan/keterbatasan dana sipemegang HGU
Perusahaan pemegang HGU prospeknya menurun dan bahkan ada yang sudah bangkrut usahanya
Sebagian lokasi diterlantarkan karena kegiatan amdal belum dilaksanakan sesuai arahannya
Sebagian tanahnya diduduki masyarakat dengan alasan belum diberikan ganti kerugian.

4.2.3 Tanah Terlantar di Provinsi Bali

Propinsi Bali luasnya sekitar 5 633 km², terdiri dari satu wilayah administrasi kota (Kota Denpasar) dan delapan wilayah administrasi kabupaten (Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Klungkung, Bangli dan Kabupaten Karangasem). Seluruhnya terdiri dari 53 wilayah kecamatan yang mencakup 64 kelurahan dan 64 desa. Jumlah penduduk pada tahun 2004 sekitar 3,2 juta jiwa yang terdiri dari 769 ribu KK dengan kepadatan sekitar 582 jiwa/km². Penduduk usia kerja ( > 12 tahun) jumlahnya sekitar 2,6 juta jiwa, sedangkan yang bekerja tercatat sekitar 1,71 juta orang. Mata pencaharian utama penduduk di lapangan kerja industri dan perdagangan (44,54 %). Selanjutnya di lapangan usaha pertanian (20,83 %), jasa/pegawai (15,67 %) serta buruh dan lain-lain (18,96 %).

Sementara itu, Kabupaten Buleleng yang menjadi lokasi penelitian mempunyai luas wilayah ± 136.588 hektar, dimana secara administrasi pada tahun 2003, terbagi menjadi 9 wilayah kecamatan dan 146 desa/kelurahan. Jumlah penduduk 558 181 jiwa dengan kepadatan 409 jiwa/km2. Berdasarkan data yang ada, sampai dengan tahun 2000, luas kawasan hutan di Kabupaten Buleleng sekitar ± 35,81 % dari luas wilayahnya, sedangkan kawasan budidaya sekitar 64,19 % dari luas wilayah. Kawasan budidaya lebih didominasi areal pertanian (baik tegalan maupun sawah) yang mencapai luas ± 30,91 %, pemukiman/perumahan (± 3,37 %), perkebunan/kebun campuran (±27,00 %) dan penggunaan lainnya (± 2,91 %) .

Jumlah sertipikat hak guna usaha (HGU) yang telah diterbitkan di wilayah Provinsi Bali hingga tahun 2005 sebanyak enam pemegang HGU yang meliputi luas tanah ± 2 380,94 hektar. Lokasi HGU tersebut berturut-turut di Kabupaten Buleleng sebanyak 3 HGU dengan luas 942,46 Ha, Kabupaten Jembrana sebanyak 2 HGU dengan luas 1 246,69 Ha dan Kabupaten karangasem sebanyak 1 HGU dengan luas 171,80 Ha. Sampai dengan tahun 2005, Kantor Pertanahan Kabupaten di lingkungan Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali belum melakukan kegiatan inventarisasi dan penilaian pemanfaatan HGU, sehingga keberadaan tanah terlantar belum diketahui secara konkrit

Belum dilaksanakan secara operasional PP 36/1998 dan Keputusan Kepala BPN Nomor 24/2002, karena hal-hal sebagai berikut:

a. Belum ada kejelasan unit kerja yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan yanah terlantar di tingkat Kantor Wilayah BPN Provinsi maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
b. Terbatasnya sumberdaya aparat pelaksana
c. Masih rendahnya respon Pemerintah Daerah dalam penanganan tanah terlantar
d. Belum ada kejelasan sumberdana untuk membiayai inventarisasi dan penilaian tanah terlantar
Berdasarkan Surat Kepala BPN Nomor 060-637, tanggal 21 Maret 2005 perihal pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat di daerah, telah diperoleh pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, dan unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan laporan mengenai data hak atas tanah HGU, HGB dan HPl oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali Tahun 2005, terdapat informasi permasalahan penguasaan tanah dan penggunaan tanah di areal HGU. Secara umum, di Provinsi Bali belum ada kejelasan yang mengindikasi adanya tanah terlantar, karena tanah-tanah HGU masih dibudidayakan untuk tanaman komoditi perkebunan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Sedangkan secara juridis terdapat HGU di wilayah Kabupaten Buleleng yang telah habis masa berlakunya, namun belum diajukan permohonan perpanjangan hak, karena adanya perebutan penguasaan tanah tersebut antara Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Buleleng, perusahaan/badan hukum dan masyarakat sekitar.

Mengenai permasalahan penguasaan tanah di areal HGU diperoleh informasi bahwa terhadap HGU PT Margarana yang terletak di wilayah Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng ada yang telah berakhir jangka waktunya, namun pemegang hak atas tanah belum mengajukan perpanjangan, yaitu HGU 1,2 dan 3 Desa Sumberklampok dan HGU 1/desa Serpang. Sedangkan HGU 1/Desa Pemuteran pengajuan perpanjangannya oleh PT Margarana selaku pemegang hak sebelumnya tidak mendapat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Buleleng maupun Pemerintah Provinsi Bali.

Mengenai permasalahan penggunaan tanah, bahwa sebagian besar HGU tersebut diindikasi masih digunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya, yaitu sebagai areal budidaya tanaman perkebunan. Namun untuk HGU yang terletak di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, diindikasi tidak dimanfaatkan secara optimal karena ketidakjelasan perpanjangan haknya. HGU tersebut tanamannya tidak produktif. Sementara itu, juga terdapat HGU untuk Tambak yang sampai saat ini belum dibuka, karena pengusaha tidak mampu mengusahakan tanahnya.

Sesuai ketentuan perundangan, dengan berakhirnya HGU tanah-tanah tersebut secara otomatis dikuasai Negara dan secara juridis administratif, walaupun terdapat indikasi tidak dimanfaatkan secara optimal, tidak dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar karena telah ada kewenangan Negara yang menguasai dan mengelolanya.

HGU perkebunan PT Margarana tidak dibebani Hak Tanggungan. HGU untuk Tambak dibebani HT, namun datanya tidak ada karena terbakar. Adapun keadaan areal HGU dapat dilihat pada Tabel 4-4

Tabel 4-4: Jumlah dan Luas HGU serta Indikasi Pemanfaatannya
di Provinsi Bali Tahun 2005

No.
Kabupaten/ Kota
HGU
Kegiatan Inventarisasi HGU
Jumlah
Sert.
Pemegang HAT
Luas (Ha)
Jumlah
Luas (Ha)
Diindikasi Terlantar
Luas (Ha)
%
1
Badung
-
-
-
-
-
-
-
2
Bangli
-
-
-
-
-
-
-
3
Buleleng
7
3
982, 46
1
246,50
100,00
40,57
4
Denpasar (Kota)
-
-
-
-
-
-
-
5
Gianyar
-
-
-
-
-
-
-
6
Jembrana
5
2
1 246,69
-
-
-
-
7
Karangasem
15
1
171,80
-
-
-
-
8
Klungkung
-
-
-
-
-
-
-
9
Tabanan
-
-
-
-
-
-
-
Total


2 380,94
-
246,50
100,00
-
Persentase



17,67
10,35
4,20

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Bali, 2005, diolah

BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi pelaksanaan identifikasi tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat dan (2) merumuskan disain penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar melalui upaya pendekatan terpadu dari aspek juridis, sosiologis, maupun ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif. Selanjutnya dalam bab ini diutarakan analisis deskriptif mengenai : (i) keberadaan tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU skala besar (ii) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU, (iii) upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang telah dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Penerima Hak atau Pihak yang menguasai tanah dan masyarakat setempat terhadap tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU sekala besar. Berdasarkan analisis deskriptif itu, selanjutnya dikembangkan pokok-pokok rumusan disain tanah terlantar pada tanah hak sekala besar upaya pendekatan terpadu dari aspek juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat

5.1 Keberadaan terlantar pada HGU skala besar

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah diolah sebagaimana disajikan pada Tabel 5.1, menunjukkan bahwa ada kecenderungan antara luasan HGU yang dikuasai pemegang hak dengan tanah terlantar, dimana. semakin luas HGU yang dikuasai pemegang hak semakin besar pula potensi tanah HGU tersebut cenderung menjadi terlantar.

Tabel 5-1 : Keadaan Tanah Terlantar Areal HGU di Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali.

Provinsi
HGU
Kegiatan Inventarisasi HGU
Jumlah
Luas
(Ha)
Rataan (Ha)
Kisaran/Pengsha. HGU (Ha)
Jumlah
Luas
(Ha)
Diindikasi Terlantar
Luas (Ha)
%
Kalimantan Selatan
124
267.462
2 157
100 s/d 18 000
43
(35 %)
89.420
75716
84,67
Sulawesi Selatan
195
169 484
869
50 s/d 7 600
70
(36 %)
46 444
24 143
51,93
Bali
6
2 381
397
171 s/d 350
1
(17 %)
246
100
40,57
Sumber: Kantor Wilayah BPN Pro. Kalsel, Sulsel dan Bali, 2005. Diolah

Analisis terhadap tanah terlantar di tiga provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali, tampak bahwa Propinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan berpotensi besar untuk terjadi tanah terlantar di areal HGU.
Sebagaimana diketahui, Provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang luas wilayahnya sekitar 3,75 juta hektar, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 87 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang bermukim di perdesaan, termasuk di sekitar areal HGU itu, sekitar 64 % dari jumlah penduduk di seluruh provinsi. Sementara itu, kondisi fisik wilayahnya sebagian besar miring, berbukit dan bergunung dan di beberapa tempat berlereng terjal. Penggunaan tanah sebagian besar (43 %) berupa hutan, selanjutnya berupa padang (semak, alang-alang, rumput) yang mencakup hampir 23 % wilayah, diperkirakan sebagian besar dikuasai oleh penduduk setempat, dan sebagian besar belum terdaftar hak atas tanahnya. Sebagian lagi dari areal itu, penguasaannya oleh perusahaan-perusahaan yang berinvestasi, baik di sub sektor perkebunan, pertanian tanaman pangan, maupun sub sektor perikanan/tambak.
Dari 43 areal HGU yang telah diinventaris atau sekitar 35 % HGU yang telah diterbitkan, sebagian besar arealnya (85 %) diindikasi terlantar. Analisis lebih lanjut menunjukkan dari 3 (tiga) perusahaan yang terindikasi terlantar, yaitu PT Sapto Unggul, PT.Chioda Bakti dan PT.Delta Kalimantan Lestari bahkan hampir seluruhnya tidak diusahakan.
PT.Sapto Unggul, telah menguasai lahan dengan luas 533,65 hektar lamanya HGU sejak 1987 tidak dimanfaatkan oleh perusahaan tetapi telah dimanfaatkan oleh masyarakat seluas 57 hektar dan sisanya 476 hektar berupa semak belukar. Sertipikat dibebani Hak Tanggungan No.34 Tanggal 26 September 1996 oleh PT Bank Buana Indonesia Cabang Banjarmasin. PT.Chioda Bakti, menguasai lahan 308 hektar dengan HGU No.7/1979 tidak dimanfaatkan oleh perusahaan tetapi seluruh areal sudah digarap masyarakat untuk tanaman semusim secara intensif. .PT.Delta Kalimantan Lestari menguasai lahan seluas 80 hektar dengan HGU No.1/1988 hanya dimanfaatkan seluas 7 hektar dan digarap masyarakat seluas 5 hektar, sedangkan selebihnya tidak dimanfaatkan berupa hutan galam.
Di Provinsi Sulawesi Selatan, yang luas wilayahnya sekitar 6.24 juta hektar dengan kepadatan penduduk 128 jiwa per km2. Pola penggunaan tanahnya, masih didominasi oleh hutan lebat dan semak belukar (64,57 % luas wilayah). Areal tanah pertanian dan kebun campuran sekitar 22,55 % wilayah, menunjukkan luas pemilikan tanah pertanian sekitar 0,177 ha per kapita itu, relatif sempit.

Sementara itu, untuk Propinsi Bali yang luasnya sekitar 5 633 km², dengan kepadatan sekitar 582 jiwa/km², dimana sekitar 21 % penduduk bekerja di lapangan usaha pertanian. Penguasaan pemilikan tanah pertanian relatif sempit. Sebagai contoh di Kabupaten Buleleng luas pemilikan tanah sawah/kapita sekitar 0,212 hektar dan tanah kering (tegalan dan kebun campuran) sekitar 0,067ha per kapita.
Kondisi yang ditunjukkan di provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali itu, tampak bahwa dari aspek penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh masyarakat setempat, telah terjadi kelangkaan tanah yang produktif. Oleh karena itu, dengan terjadinya tanah terlantar di areal HGU mengindikasi telah terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah, disebabkan ada perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang menguasai tanah sedemikian luasnya namun secara riel tidak dimanfaatkan/digarap sesuai dengan keadaan, tujuan dan sifat pemberian haknya, namun di sisi lain sebagian besar masyarakat tanah usahanya relatif sempit bahkan ada yang tidak mempunyai tanah usaha lagi.

5.2. Faktor-faktor terjadinya tanah terlantar pada areal HGU
Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor terjadinya tanah terlantar itu menyangkut masalah teknis manajemen dan sosial-ekonomi. Berikut diuraikan keadaan faktor-faktor yang pada hakekatnya ketiga faktor itu tidak dapat dipisah secara tegas karena saling terkait satu sama lain.
5.2.1 Faktor Teknis Manajemen Usaha
Tanah terlantar pada areal HGU di provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, sebagian disebabkan faktor teknis manajemen usaha. Sebagaimana diketahui kondisi tanah di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang menjadi areal HGU umumnya penggunaan tanah semula adalah alang-alang dan semak belukar yang miskin hara, sehingga memerlukan investasi untuk pembukaan tanah dan teknis manajemen usaha yang memadai.
Hasil evaluasi di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa ada indikasi areal HGU yang tanahnya terlantar tidak layak untuk usaha perkebunan. Dalam hal ini ketika proposal teknis kelayakan diajukan sebagai bahan permohonan HGU, umumnya ditangani langsung oleh instansi teknis. Sedangkan kegiatan AMDAL umumnya selalu memperoleh persetujuan dengan syarat tertentu yang bersifat umum sehingga tidak menjadi kendala dalam rangka mengamankan investasi di daerah. Di beberapa areal HGU, ditemukan pula areal yang tumpang tindih dengan Pertambangan (Batu Bara). Keadaan semacam ini juga dijumpai di Provinsi Sumatera Barat

Dalam hal ini timbul pertanyaan di kalangan praktisi kantor pertanahan dan kanwil BPN provinsi terhadap permohonan areal HGU itu, apakah BPN punya kewenangan untuk menetapkan bahwa tanah harus ditanami dulu baru diajukan HGU sesuai dengan keadaan dan jenis usaha serta komoditi yang diusahakan. Hal ini menyangkut pengaturan pemberian HGU yang harus jelas., karena tanah kosong yang diberi HGU setelah sekian tahun tanahnya masih ternyata masih kosong. Jadi tanah HGU itu menjadi objek spekulasi.

Mengenai tanah HGU yang menjadi objek spekulasi diperkirakan akan menjadi masalah karena sertipikat HGUnya telah dijadikan agunan di Bank serta adanya hak privelege (diutamakan) bank ketika tanah tersebut akan diusulkan untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dengan demikian tanah areal HGU yang secara pisik objek tanahnya dapat dinyatakan terlantar, namun dari segi finansial perbankan telah menghasilkan uang yang berasal dari kredit dengan jaminan HGU. Pihak Bank sendiri juga tidak dapat memblokir HGU yang dijadikan jaminan kredit, sepanjang debitor itu memenuhi kewajiban mengangsur kreditnya, walaupun sumber angsuran itu bukan berasal dari keberhasilan usaha HGUnya.
Pengaruh harga komoditi ikut mendorong terjadinya tanah terlantar. Kasus yang terjadi pada PT. Sapto Agro Unggul, perusahaan perkebunan cacao (coklat), terletak di Kecamatan Batang Alai Selatan Hulu Sungai Tengah, dengan status HGU No. 1/U/1987 tanggal 22 Mei 1987 dan Nomor 2/U/1987 tanggal 22 Mei 1987. Perkebunan ini pernah ditanami seluas 205 hektar pada tahun 1985, namun setelah itu tidak terlihat aktifitas lagi di atasnya. Penyebab terlantarnya perkebunan tersebut adalah kegagalan manajemen/pengelolaan dan kualitas cacao/harga jual yang rendah. Hal yang sama juga dialami. Demikian pula, PT.Chioda Bakti, sebuah perusahaan perkebunan Rosella di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan, dengan HGU No. 7/U/1979. tanahnya terlantar karena harga serat Rosella kalah bersaing dengan plastik, dan pemasaran serat Rosella yang tidak jelas. Sementara itu, PT.Delta Kalimantan Lestari, perusahaan Tambak Udang di Takisung Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan selaku pemegang HGU No.1/U/1988 seluas 80 hektar, telah menterlantarkan tanah tersebut akibat kegagalan usaha dimana kualitas dan harga udang kurang kompetitif di pasar internasional/nasional, biaya pengelolaan yang tinggi, dan manajemen kurang baik. Akibat selanjutnya adalah perusahaan pemegang HGU prospeknya menurun dan bahkan ada yang sudah bangkrut usahanya. Di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali bahkan terdapat HGU untuk Tambak yang sampai saat ini belum dibuka, karena pengusaha tidak mampu mengusahakan tanahnya, akibat resesi ekonomi pada tahun 1998 yang lalu.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa faktor teknis manajemen usaha sangat menentukan dalam pengelolaan HGU yang dimulai pada tahap awal permohonan kegiatan sudah harus dapat diidentifikasi BPN selaku instnasi yang mempunyai kewenangan dalam pemberian HGU. Langkah awal itu antara lain menyangkut kompetensi sumberdaya pelaksana dalam proses identifikasi subjek dan objek permohonan HGU dalam Panitia B.

5.2.2 Faktor Sosial-Ekonomi
Kasus tanah terlantar, juga berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, dimana pemegang HGU tidak mampu mengamankan haknya dan harus berhadapan dengan masyarakat sekitar lokasi HGU. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi, di Kalimantan Selatan terdapat 54 perusahaan perkebunan dengan HGU, 23 perusahaan termasuk kategori reklasifikasi. Pada umumnya diokupasi masyarakat. Beberapa contoh di antaranya PT Malindo Jaya Diraja di Kabupaten. Pleihari, PT Sawit Agro Unggul di Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang selama ini terlantar. Demikian pula PT Alam Raya ingin menyelesaikan pemanfaatan sesuai HGU, tetapi sebagian besar sudah diokupasi rakyat. tanah telah digarap petani setempat dengan tanaman tegalan, sedangkan tanaman karet yang ada disadap petani.

Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan itu, terjadi pula di provinsi Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Barat dan provinsi lainnya, dimana masyarakat
menduduki tanah perkebunan dengan alasan belum diberikan ganti kerugian atau mengklaim sebagai tanah milik masyarakat adat setempat

Akibat okupasi itu, luasan HGU di bawah skala usaha ekonomi sehingga produktivitasnya menurun dan akhirnya semakin luas kebun yang tidak dipelihara dengan baik. Penetapan klasifikasi perkebunan yang termasuk dalam kategori tidak produktif (Kelas IV dan Kelas V), tidak hanya parameter pisik kebun, namun mempertimbangkan aspek manajemen kebun, budidaya tanaman, pengolahan hasil dan aspek lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pemerintah Daerah tidak ada kewenangan menanganinya karena secara teknis ijin usaha perkebunan berada di Menteri Pertanian, sementara HGUnya ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional.

5.3. Masalah Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Masalah pokok yang dihadapi dalam melaksanakan PP 36/1998 dan Kep.Kepala BPN No.24/2002 menyangkut aspek teknis operasional dan koordinasi dengan instansi terkait, sebagai berikut.

5.3.1 Kendala teknis operasional
Kendala teknis operasional internal yang dihadapi antara lain:
(i) Belum ada struktur organisasi.unit kerja yang secara langsung menangani pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarajat di tingkat Kanwil BPN Provinsi maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Keadaan ini menyebabkan ketidakjelasan kewenangan aparat pelaksana yang ditugaskan dalam kegiatan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tersebut,
(ii) Belum ada aturan pembiayaan
(iii) Terdapat SK Pemberian Hak dan Gambar Situasi (GS) yang sulit atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi di daerah, sehingga untuk mengatasinya meminta data ke Kanwil BPN Provinsi.
(iv) Belum ada laporan sebagai bentuk pengaduan adanya tanah terlantar
(v) Alamat pemegang HGU yang tanahnya diduga terlantar sukar ditemukan, sebab telah berpindah alamat dari alamat terdahulu saat mengajukan permohonan hak
Menghadapi kendala personel dan biaya itu, Kanwil BPN Provinsi mengharap adanya kebijakan BPN Pusat untuk menambah aparat pelaksana teknis serta adanya penyediaan anggaran guna melaksanakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di provinsi dan kabupaten/kota. Mengenai alokasi dana operasional melalui APBD umumnya tidak disetujui dengan alasan BPN instansi vertikal karena itu Pemda mengharap kegiatan itu dapat dibiayai melalui APBN. Alokadi dana operasional dari APBN baru ada di tingkat Kanwil BPN yang jumlahnya juga tidak memadai. Sementara itu, upaya yang telah dilakukan adalah melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, guna mendorong pelaksanaan kegiatan ini.
Adapun kendala teknis operasional yang bersifat eksternal, umumnya berkaitan dengan penafsiran ketentuan PP 36/1998 dan Kep.Ka.BPN 24/2002 antara lain menyangkut

(i) Penetapan jangka waktu penertiban dan pendayagunaan yang diindikasi sebagai tanah terlantar dianggap terlalu lama.
(ii) Hak keperdataan bekas pemegang hak yang belum jelas, apakah diganti rugi atau tidak. Jika diberi ganti rugi kepada bekas pemegang HGU, akan memerlukan dana yang sangat besar yang belum ditetapkan sumber anggarannya.
(iii) Belum ada sanksi yang tegas terhadap orang yang menghalang-halangi penertiban dan pendayagunaan yang diindikasi sebagai tanah terlantar serta orang yang menelantarkan tanah.
(iv) Adanya kesempatan mengalihkan tanah kepada pihak lain menyebabkan areal HGU tidak dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar pada penguasa yang baru.


5.3.2. Kendala koordinasi dengan instansi terkait

Masalah koordinasi dengan instansi terkait juga timbul beberapa masalah, antara lain:
(i) Dalam pembentukan Panitia Penilai salah satu di Kabupaten di mana Kepala Kantor dalam stuktur organisasi dimasukkan sebagai Wakil Ketua, dan Sekretarisnya adalah Kepala Bagian Pemerintahan, sedangkan Kasi PGT dan PPT sebagai anggota. Posisi kunci yang berada di instansi lain menyebabkan kantor pertanahan tidak mempunyai kewenangan memutuskan.
(ii) Masih rendahnya respon instansi teknis terhadap penanganan tanah terlantar karena bukan menjadi tanggung jawabnya serta masih lemahnya pemerintah daerah sebagai koordinator penanganan tanah terlantar.
Menghadapai kendala ini, Kanwil BPN Provinsi umumnyai telah memberikan arahan kepada seluruh kantor pertanahan di jajarannya agar meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah masing-masing, antara lain dengan cara menyampaikan permasalahan tanah terlantar pada setiap pelaksanaan rapat koordinasi pembangunan.
.

5.4. Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan bagian dari sistem pengelolaan pertanahan yang meliputi kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), pengendalian dan pengawasan (compliance) dan pelayanan (services). Dalam hal ini kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tidak cukup dengan pengaturan secara normatif serta tindakan pengendalian dan pengawasan namun perlu bermuara ke aspek pelayanan pertanahan yang berkeadilan kepada masyarakat banyak.

5.4.1 Aspek Yuridis

Upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar telah dilakukan di provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Terhadap PT.Sapto Agro Unggul terdapat surat Dinas Perkebunan, surat Bupati, dan Surat Kanwil BPN yang isinya teridentifikasi tanah terlantar namun belum ada tindak lanjut dari BPN Pusat; Untuk PT.Chioda Bakti upaya pemberdayaan yaitu dengan surat teguran dari Bupati: Untuk PT.Delta Kalimantan Lestari ada surat teguran dari Bupati. Namun hasil penelitian juga memperoleh informasi bahwa pelaksanaan identifikasi dan penilaian tanah terlantar oleh Kantor Pertanahan, menunjukkan bahwa kriteria tanah terlantar belum terumuskan dengan jelas. Areal HGU yang terlantar tidak layak untuk usaha perkebunan Sementara itu, wewenang menetapkan tanah terlantar yaitu Kepala Kantor pertanahan tidak berfungsi secara optimal

Di Kabupaten. Tanah Laut telah dilakukan identifikasi dan penilaian, namun belum ada tindak lanjut oleh Kanwil BPN Provinsi. Telah dilakukan pendekatan terhadap tiga perusahaan yang hasilnya perusahaan itu mulai membangun kebunnya. Kendala lain yang terjadi adalah hasil diidentifikasi tidak dapat ditindaklanjuti, karena proses terlalu lama, lebih lima tahun. Menurut Biro Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan, payung hukum untuk menangani tanah terlantar belum terkoordinasi dengan baik. PP 36/98 adalah payung hukum Pusat masih perlu disinergikan dengan payung hukum daerah sesuai UU 32/04. Pengamatan oleh Pemerintah daerah menunjukkan bahwa kasus tanah teralantar itu terjadi, karena pemegang HGU tidak mampu mengamankan haknya dan berhadapan dengan masyarakat yang membutuhkan tanah.

Terhadap indikasi terjadinya tanah terlantar seperti kasus di atas, yang hampir seluruh tanahnya tidak digarap/dimanfaatkan sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya, dari hasil pengamatan di lapangan bersama Tim Identifikasi sesuai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 jo. Pasal 15-20 Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002 dirasakan terlalu lama. Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan khususnya terhadap Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2004 yaitu dengan kriteria sebagai berikut : kepada perusahaan pemegang HGU yang pemanfaatannya selama 5 (lima) tahun itu kurang dari 25% diusulkan sebagai tanah terlantar, yang pemanfatan 25% sampai 50% diberi peringatan 12 (dua belas) bulan, di atas 50% diberi peringatan 24 (dua puluh) empat bulan.

Seharusnya BPN juga mengambil langkah tegas berupa pernyataan sebagai tanah terlantar, dengan tidak perlu lagi peringatan secara bertahap seperti ditentukan dalam ketentuan dimaksud, misalnya dalam hal ini cukup dengan satu kali peringatan (12 bulan), dan apabila dalam masa peringatan tersebut ada kemajuan dalam penggarapan maka hanya yang tidak digarap/dimanfaatkan oleh perusahaan saja yang diusulkan dinyatakan sebagai tanah terlantar sedangkan yang dimanfaatkan tetap dimanfaatkan sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002.

Apabila dari penilaian Panitia Penilai cukup bukti bahwa hampir seluruh tanah telah diterlantarkan, maka langsung saja oleh Kepala Kantor Wilayah BPN diusulkan kepada Kepala BPN untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar tanpa harus melalui tahapan-tahapan peringatan seperti dimaksud dalam PP dan Keputusan Kepala BPN dimaksud. Hal ini tentunya dapat dilakukan apabila ada revisi (penyempurnaan) terhadap peraturan dimaksud, dalam rangka lebih mengoptimalkan penertiban tanah terlantar, dan selanjutnya mendayagunakan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat yang lebih memerlukan
Secara normatif, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar meliputi tanah yang dikuasai dengan HM, HGU, HGB, H. Pakai, Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan. Dengan demikian, tanah terlantar dapat meliputi tanah yang sudah ada haknya atau tanah yang belum dimohon haknya. Tanah terlantar bisa sebagian atau seluruhnya.
Tanah-tanah tersebut dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Kepada pemegang hak atasnya sudah diberikan kesempatan untuk mempergunakan tanahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, sebidang tanah hak, baru memenuhi kriteria untuk dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila kepada pemegang haknya sudah diberikan kesempatan untuk menggunakan tanahnya sesuai ketentuan melalui peringatan-peringatan yang diatur dalam PP No.36/1998 jo. Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002.
Oleh karena itu, diperlukan koridor hukum yang memberi kejelasan kepada pemegang hak atas tanah mencakup hak dan kewajiban yang harus dilakukan, tanpa harus mengorbankan hak keperdataan atas tanah yang dikuasainya. Bidang-bidang tanah yang telah secara jelas dinyatakan sebagai tanah terlantar, perlu ada payung hukum yang menetapkan bahwa pengelolaan (penggunaan dan pemanfaatannya) ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota, tanpa mengurangi hak keperdataan pemilik/penguasa tanah yang bersangkutan.

5.4.2 Aspek Sosiologis
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Keputusan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2002, terhadap tanah yang diindikasi terlantar oleh Kakanwil BPN dapat dilakukan rekomendasi, pembinaan atau peringatan. Setelah melalui peringatan ketiga tidak ada respon dari pemegang HGU, atas usul Kakanwil BPN Propinsi menetapkan bidang tanah sebagai tanah terlantar. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam rangka pendayagunaannya, baik yang berupa pola kemitraan, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, atau pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 (2) PP 36 kepada bekas pemegang hak dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan berdasarkan bukti-bukti tertulis untuk memperoleh hak, dan Pasal 23 ayat ayat (3) Keputusan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2002 menentukan, terhadap obyek tanah terlantar yang pengaturannya melalui proses redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan pemberian hak kepada pihak lain, kepada bekas pemegang haknya diberikan ganti rugi, yang ekskalasinya dilakukan menurut perhitungan biasa. Harus diingat bahwa penentuan harga ganti rugi ini merupakan sanksi terhadap pemegang hak yang menelantarkan tanahnya. Dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ini, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mengajukan usulan agar kegiatan tersebut dapat dibiayai melalui anggaran yang diperoleh dari BPHTB yang dialokasikan dalam dana perimbangan Pemerintah Daerah setempat.
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai leading sektor penanganan tanah terlantar merupakan tindak lanjut kewenangan yang telah dimilikiantara lain ijin lokasi dan perencanaan penggunaan tanah sesuai Keputusan Presiden No.34 Tahun 2001. Dalam pelaksanaannya memerlukan input data dari instansi tekni, termasuk data/informasi pertanahan dan pertimbangan teknis dari instansi BPN di daerah. Selanjutnya diperlukan pemberdayaan fungsi aparat desa/kelurahan guna melakukan pengendalian dan pengawasan pendayagunaan tanah,

Masyarakat sekitar lokasi dapat berperan serta dalam bentuk melaporkan keberadaan tanah terlantar serta mengusulkan pemanfaatan tanah sesuai peraturan dan kebutuhan setempat. Laporan dan usulan itu disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Bupati/Walikota, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi serta Gubernur.

5.4.3. Aspek Ekonomis.

Pendayagunaan tanah terlantar akan bersentuhan dengan aspek ekonomis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pemanfaatan tanah yang sudah memperoleh HGU sampai akhir tahun 2003 adalah 1 824 kebun dari 1 437 perusahaan, dengan luas areal 5 265 428 Ha. Areal yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian areal HGU itu, mencapai sekitar 20 % atau sekitar 1 juta hektar, akibat diokupasi masyarakat maupun areal secara pisik tidak dapat ditanami dan areal yang belum dibangun menjadi kebun,
Apabila mendasarkan pada nilai ekspor perkebunan yang menjadi devisa Negara pada tahun 2003 pada kapasitas pemanfaatan tanah 80 % areal HGU, memberikan nilai tambah sekitar US $ 5,16 milyar, maka apabila tanah HGU dapat dimanfaatkan seluruhnya akan memberi tambahan devisa Negara sekurang-kurangnya sekitar US $ 1,0 milyar atau sekitar Rp 10 trilyun. Sementara itu tambahan tenaga kerja yang terserap diperkirakan sekitar 3,5 juta orang. Dari segi ekonomi makro keadaan ini memberi dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun wilayah

5.5. Alternatif Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Berdasarkan pertimbangan juridis, sosiologis dan ekonomis, di atas, selanjutnya diatur penertiban dan pendayagunaannya melalui bentuk: (1) kemitraan, (2) redistribusi tanah, (3) konsolidasi tanah atau (4) pemberian hak atas tanah kepada pihak lain. Berikut disampaikan uraian mengenai model kemitraan perkebunan yang diintegrasikan dengan redistribusi tanah di areal HGU dimaksud.

Model kemitraan perkebunan ini merupakan salah satu bentuk redistribusi kebun sawit yang dikembangkan di Kecamatan Paya Rumbai, Kabupaten Inderagiri Hulu, Provinsi Riau dengan areal seluas 10 000 Ha, dikenal dengan Proyek Kredit Pemilikan Kebun (KPK). Terdapat tiga hal pokok yang diatur dalam pola redistribusi kebun dengan pola kemitraan, yaitu (a) proses seleksi peserta, (b) pembagian kebun produktif dan telah bersertipikat hak milik serta (c) pendanaan melalui KPK.

Pihak swasta membangun areal kebun dan setelah memasuki usia produktif, sekitar 30 persen arealnya didistribusikan kepada masyarakat setempat dengan luasan 2 hektar per KK. Petani menerima kebun yang sudah produktif dan tanahnya sudah bersertipikat hak milik. Kewajiban petani adalah mengangsur kredit pemilikan sesuai nilai kredit yang disepakati , melalui Bank Persepsi setempat Masa angsuran 12 tahun dengan bunga sekitar 14 – 16 % per tahun. Sumber cicilan adalah penjualan hasil produksi sawit. Konsep itu telah berhasil mengatasi kesenjangan pemilikan tanah, mencegah terjadinya tanah terlantar akibat ketidakmampuan manajemen kebun serta meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kebun.

Di Malaysia penanganan tanah terlantar dilaksanakan melalui suatu Badan yang dikenal dengan LCRA (Land Consolidation and Rehabilitation Area). Dalam pelaksanaannya setelah dilakukan inventarisasi, terhadap tanah milik diberi sertipikat sedangkan pada tanah non milik dibeli negara, direditribusi ke petani untuk ditanami kelapa sawit.

Kasus di Kenya, Menteri Pertanahan dan Permukiman menyatakan kepada para pemilik tanah pertanian yang tanahnya diterlantarkan, bahwa Pemerintah akan melakukan redistribusi tanah kepada para petani apabila dalam waktu 1 tahun tidak ada upaya untuk diusahakan. Upaya itu sebagai bagian untuk memaksimumkan land-use secara ekonomis, mengingat 24 % GDP Kenya bersumber dari sektor Pertanian. Tanah harus dikelola dengan baik oleh semua pihak, tanpa membedakan “ras putih dan hitam”

Mengenai pilot proyek model redistribusi kebun di Pontianak terdapat indikasi adanyai kendala UU Perseroan Terbatas, dimana PT yang bersangkutan harus go publik dulu, sehingga makan waktu proses yang panjang. Kendala dari aspek ketentuan yang bersifat dasar adalah bahwa dalam UU 18/04. HGU tidak boleh diredistribusi.


5.6. Implikasi Kebijakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan bagian dari sistem pengelolaan pertanahan yang meliputi kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), pengendalian dan pengawasan (compliance) dan pelayanan (services). Dalam hal ini kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tidak cukup dengan pengaturan secara normatif serta tindakan pengendalian dan pengawasan namun perlu bermuara ke aspek pelayanan pertanahan yang berkeadilan kepada masyarakat banyak. Berikut diutarakan beberapa kebijakan strategis yang berkaitan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.

5.6.1 Penegakan Hak dan Kewajiban Pengelolaan Sumberdaya Tanah HGU Yang Berkeadilan

Prinsip dasar pengelolaan tanah di Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA adalah bahwa tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada Bangsa Indonesia sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat.. Lebih lanjut UUPA menegaskan bahwa penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.
HGU dapat diberikan dalam jangka waktu 25 sampai 35 tahun, yang dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 25 tahun.Selanjutnya dapat diperbarui dengan jangka waktu 30 tahun. Jika semuai syarat dipenuhi, penguasaan tanah di areal HGU dapat berlangsung selama 85 sampai 90 tahun. Persyaratan itu antara lain harus memakai investasi modal yang layak dan teknik pertanian yang baik sesuai dengan perkembangan zaman dengan maksud untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan secara efisien. Bila syarat itu tidak dipenuhi sehingga menyebabkan tanah terlantar di dalam Pasal 34 huruf e ditegaskan bahwa HGU hapus karena tanahnya ditelantarkan.

Kenyatan yang terjadi di berbagai areal HGU adalah bahwa hak yang telah diberikan untuk menguasai dan pemanfaatan tanah oleh pengusaha HGU, tidak diikuti dengan pemenuhan kewajiban, sehingga menimbulkan tanah terlantar di areal HGU. Keadaan itu pada hakikatnya mengindikasi telah terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Ketidakadilan itu muncul ketika perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang menguasai tanah sedemikian luasnya dengan jangka waktu lama, namun tanah itu tidak dimanfaatkan/digarap sesuai dengan keadaan, tujuan dan sifat pemberian haknya, sedangkan di sisi lain sebagian besar masyarakat sekitar areal kebun, tanah usahanya relatif sempit bahkan ada yang tidak mempunyai tanah usaha lagi. Ketidak adilan itu semakin jelas ketika areal yang terlantar itu, telah dijadikan jaminan kredit pada Bank, yang kemudian uang hasil kredit itu, tidak digunakan untuk membangun kebun. Bahkan terdapat informasi yang tidak resmi bahwa dana kredit itu digunakan untuk membiayai permohonan HGU baru atau usaha non pertanian di tempat lain. Pihak Bank sendiri juga tidak dapat memblokir HGU yang dijadikan jaminan kredit, sepanjang debitor itu memenuhi kewajiban mengangsur kreditnya, walaupun sumber angsuran itu bukan berasal dari keberhasilan usaha HGUnya.
Mengenai keadilan itu, adalah sesuatu nilai yang bersifat relatif, tidak dapat diukur secara fisik dari satu sisi, namun di sisi yang lain dapat dirasakan secara bersama. Rasa keadilan dan ketidakadilan akan terbentuk dalam suatu persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat di areal HGU yang terlantar itu, merupakan penilaian terhadap sesuatu keadaan lingkungannya yang diwujudkan dalam bentuk sikap, pendapat dan tanggapan terhadap sistem penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Persepsi mengenai apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar dari orang lain, apa yang diharapkan secara bertahap akan membentuk partisipasi terhadap dan apa yang dilakukan dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Oleh karena itu, salah satu ukuran keadilan bagi masyarakat setempat adalah apakah program penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar itu membri manfaat yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat setempat.

Dalam rangka menertibkan dan mendayagunakan tanah terlantar telah ada perangkat hukum beupa peraturan perundangan yang cukup rinci. Peraturan itu, dari segi hukum normatif di satu sisi adalah piranti untuk memberikan kepastian terhadap tindakan sesuatu dan di sisi lain adalah untuk memberikan keadilan kepada semua yang berkepentingan terhadap objek tanah terlantar itu. Namun kenyataan menunjukkan bahwa peraturan yang yang ada ditinjau dari sisi kepastian maupun keadilan belum berjalan secara efektif. Laicha Marzuki, seorang pakar hukum menyatakan bahwa apabila tujuan hukum yang memberi kepastian dan keadilan tidak dapat sejalan maka para pelaksana hukum dapat melakukan tindakan hukum berdasarkan asas memberi manfaat kepada orang banyak. Prinsip semacam ini merupakan salah satu pendekatan hukum sosiologi.
Salah satu masalah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar adalah berkembangnya suatu perubahan sosial yang memerlukan dukungan perubahan hukum. Maka diperlukan selain pendekatan hukum normatif seyogyanya diperlukan pula pendekatan hukum sosiologis, dimana dikaji adanya perubahan peraturan dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.
Melalui pendekatan hukum sosiologis memungkinkan untuk menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial dimana hukum harus berjalan dan dimana hukum itu diterapkan secara efektif. Efektivitas hukum akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri dari unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum dalam suatu masyarakat bekerja saling mendukung di dalam pelaksanaannya. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat penegak hukum. Unsur substansi yang dimaksudkan adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem itu yang dihasilkan oleh sistem hukum. Unsur kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum, serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
Dari sudut pandang hukum sosiologis, pemberian SK dan Sertipikat HGU tidak hanya dipandang pada aspek hukum normatif yang bersifat hak-hak keperdataan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada pemegang HGU tersebut untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya guna memperoleh manfaat usahanya sekaligus juga memberi manfaat kepada masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa aturan dan tindakan-tindakan hukum dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang saat ini belum efektif akan menjadi lebih efektif dalam memenuhi kepastian, keadilan dan kemanfaatan apabila disertai dengan upaya secara jurudis-normatif sekaligus juridis-sosiologis. Aspek juridis normatif itu dengan menegakkan hak dan kewajiban secara eksplisit sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang HGU yang dicantumkan dalam SK HGU.atau Sertipikat HGU. Aspek juridis soiologis dengan menegakkanhak dan kewajiban untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk itulah diperlukan dukungan pengembangan kelembagaan pada tingkat terbawah, yaitu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mendorong berfungsinya pengawasan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar oleh pemerintah desa dan masyarakat setempat.


5.6.2 Pembangunan Wilayah Regional

Latar belakang diterbitkannya PP 36/98 adalah adanya bidang tanah yang keadaannya terlantar yang jika tidak ditangani dapat mengganggu pembangunan, karena kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaannya relatif terbatas. Adanya tanah terlantar di daerah pedesaan dapat mengganggu kelestarian swasembada pangan, sedang di daerah perkotaan dapat menimbulkan daerah kumuh dan mengurangi estetika dan efisiensi penggunaan tanah.
Secara nasional sumbangan pembangunan areal HGU sangat besar peranannya dimana nilai ekspor perkebunan yang menjadi devisa Negara pada tahun 2003 pada kapasitas pemanfaatan tanah 80 % areal HGU, memberikan nilai tambah sekitar US $ 5,16 milyar. Demikian pula perannyan terhadap perkembangan wilayah secara regional.
Ditinjau dari struktur matapencaharian penduduk maupun struktur pendapatan regional daerah kabupaten lokasi HGU menunjukkan bahwa pengembangan ekonomi pedesaan berbasis usahatani tanah itu, masih dominan. Sebagai contoh di Kabupaten Buleleng, sekitar 46 % penduduk masih bekerja di sektor pertanian, dengan pendapatan per kapita sekitar Rp 3,57 juta. PDRB kabupaten sekitar Rp 3,2 trilyun, dimana sektor pertanian kontribusinya sekitar 32 % PDRB Komoditi pertanian yang utama di wilayah itu adalah kopi, cengkeh dan vanili. Sementara itu, terjadinya tanah terlantar di areal HGU yang komoditi utamanya adalah tanaman itu, telah membawa implikasi melemahnya perkembangan pusat-pusat pembangunan ekonomi wilayah pedesaan berbasis pertanian dan perkebunan.
Dalam rangka mempercepat pembangunan wilayah pedesaan diperlukan re-orientasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar areal HGU yang lebih memusatkan perhatian pada pengembangan pusat-pusat pemasaran produksi pertanian yang ddukung dengan kebijakan pengembangan kawasan komoditi andalan. Untuk itu diperlukan pengintegrasian antara Rencana Strategis Pembangunan Wilayah Kabupaten di Sektor Pertanian dan Pedesaan yang mengacu kepada ”resource base development” dengan ”community base development”. Community base development itu, dilakukan dengan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi masyarakat di wilayah pedesaan yang terstruktur dengan kebijakan pembangunan wilayah pedesaan.

5.6.3 Pengembangan Sistem Pengendalian Tanah Terlantar

Tanah terlantar terdapat di sebagian atau seluruh bidang tanah dengan HGU . Penguasaan atas HGU oleh badan pengusaha terdiri dari satu atau lebih sertipikat. Di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dijumpai HGU dengan luas 171,80 hektar terdiri dari 15 buah sertipikat hak atas tanah, namun di Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan terdapat satu sertipikat HGU yang mencakup hamparan areal seluas hampir 16 000 hektar. Dengan demikian pengendalian tanah terlantar memerlukan pendekatan parsial secara mikro yaitu bidang demi bidang tanah dan secara hamparam secara makro terkait dengan penataan wilayah. Pendekatan secara mikro berfungsi untuk mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan HGU agar sesuai dengan tujuan pemberian hak itu kepada suatu badan hukum selama jangka waktu tertentu. Sedangkan pendekatan secara makro berfungsi untuk mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan HGU agar sesuai dengan arah pembangunan wilayah yang telah ditetapkan dalam Rencana Umum tata Ruang Wilayah. Kedua pendekatan itu memerlukan dukungan sistem teknologi informasi tanah terlantar.

Sebagaimana diketahui sistem teknologi informasi mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi tekstual sebagai pengganti mesin ketik, fungsi analisis komputasi dan fungsi jaringan (web). Sebagian besar informasi mengenai tanah terlantar itu masih diproses dengan memanfaatkan fungsi tekstual yang menghasilkan informasi deskripsi. Hanya di beberapa tempat seperti di Kalimantan Selatan telah diolah dalam bentuk tekstual dan spasial. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara umum sistem pengendalian tanah terlantar belum terintegrasi dengan sistem informasi pertanahan yang saat ini sedang dikembangkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Maka dalam rangka pengembangan sistem pengendalian tanah terlantar diperlukan dukungan piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) serta peningkatan kemampuan staf yang mengoperasionalkan.


5.6.4 Pemberdayaan Masyarakat.

Dalam proses penertiban dan pendatagunaan tanah terlantar terkandung konsep strategis kemasyarakatan yaitu konsep partisipasi dan pemberdayaan. Dalam konsep partisipasi itu, masyarakat sekitar lokasi dapat berperan serta dalam bentuk melaporkan keberadaan tanah terlantar. Sedangkan dalam konsep pemberdayaan masyarakat dapat mengusulkan pemanfaatan tanah sesuai peraturan dan kebutuhan setempat. Laporan dan usulan itu disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Bupati/Walikota, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi serta Gubernur.
Sebagaimana diketahui, berkaitan dengan partisipasi, terdapat berbagai konsep dan pengertian yang satu sama lain berbeda penekanannya. Dalam penelitian ini, partisipasi didefinisikan sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk ikut berperan dalam kegiatan pembangunan karena dorongan dari pihak lain maupun kemauan sendiri dalam bentuk tenaga, pikiran atau materi. Partisipasi itu, mempunyai berbagai tujuan, di antaranya : (a) menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama atas masalah yang ada di lingkungannya, (b) memupuk rasa kebersamaan, (c) menimbulkan rasa memiliki atas hasil kegiatan proyek. Dalam menerapkan partisipasi juga banyak dilakukan berbagai alternative, mulai dari pendekatan sukarela dan paksaan. Demikian pula tingkat aktif dan pasifnya untuk mempromosikan partisipasi yang menekankan sifat sukarela dan aktif
Partisipasi di satu sisi mengarah pada tujuan pemberdayaan dalam rangka mencapai efisiensi manajemen proyek atau kegiatan pembangunan, namun pada sisi lain merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang lebih tinggi seperti menjadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Jadi hakekat dari partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkut kehidupannya.
Pemberdayaan (empowerment) secara umum adalah perolehan kekuatan dan akses sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup individu, keluarga atau kelompok sosial masyarakat. Pemberdayaan mendorong suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang yang semula tidak berdaya menjadi mampu memberi pendapat dan penilaian terhadap sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya dan lingkungannya. Karena itu pemberdayaan bersifat individu sekaligus kolektif. Di samping itu pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi untuk mengambil keputusan atas nama diri mereka sendiri, dan kemudian mempertegas pemahamannya terhadap lingkungan kelompoknya. Persepsi diri bergerak dari korban (victim) menjadi pelaku (agent) karena kemampuannya mencukupi kebutuhan bereksistensi secara sosial ekonomi dan sosial budaya di lingkungannya.
Kekuasaan (power) merupakan basis pemberdayaan (empowerment), mempunyai dimensi distributive dan dimensi generatif. Dimensi distributive kekuasaan dipandang sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memaksakan kehendak pada pihak lain. Sedangkan dimensi generatif dipandang sebagai tindakan yang memungkinkan kelompok sosial atau masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dimensi generatif dapat diciptakan melalui kelompok sosial masyarakat dengan mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan kelompok tersebut memberi pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupannya pada tingkat lokal maupun nasional.
Dari konsep tentang persepsi dan pemberdayaan tersebut di atas dapat disusun suatu hubungan kausalistis melalui proses pengambilan keputusan (decision making process). Persepsi yang masih bersifat penilaian dalam pikiran individu atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan dalam suatu bentuk tindakan yang nyata yang berupa penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu yang dikenalkan. Kemampuan untuk menolak atau menerima tersebut berkembang sesuai dengan proses pemberdayaan yang diberikan dan dimiliki pada individu atau kelompok masyarakat tersebut. Untuk itulah diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Strategi itu, meliputi: (i) pengembangan disain sosialisasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, (ii) Penguatan kelembagaan lelompok masyarakat sekitar lokasi HGU, (iii) Pengembangan fasilitator komunikasi sosial dan (iv) Pengembangan sistem komunikasi informasi

a) Sosialisasi Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Strategi ini bertujuan agar masyarakat secara bertahap mengetahui, memahami maupun mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan menyeluruh dalam pengelolaan tanah terlantar sehingga terjadi kesamaan persepsi dan pola pengambilan manfaat ekonomi atas sumberdaya ekonomi di areal HGU dari orientasi jangka pendek secara bertahap berubah dengan orientasi keberlanjutan manfaat jangka panjang, Disain sosialisasi mencakup empat aspek, yaitu substansi sosialisasi, tahapan pengembangan, alat dan teknik sosialisasi serta pengendalian sosialisasi.

b) Penguatan Kelembagaan Kelompok Masyarakat Sekitar Lokasi HGU

Secara umum pengembangan kelembagaan adalah proses perencanaan dan pembinaan terhadap suatu organisasi dengan cara membangun keterkaitan dan saling memperkuat di antara fungsi organisasi sehingga memberi dampak positif secara fisik dan sosial terhadap suatu lingkungan tertentu. Strategi ini dikembangkan untuk mencapai tujuan sistem sosialisasi pengelolaan tanah terlantar yang dapat diterima masyarakat secara demokrasi, tanpa distorsi dengan menumbuh-kembangkan partisipasi masyarakat. Arah pengembangan melalui penguatan keterkaitan individu dengan kelembagaan masyarakat setempat serta strategi pengembangan kelembagaan Pokmas yang berfokus kepada penguatan sistem komunikasi dan informasi kegiatan ke masyarakat.

c) Pengembangan Fasilitator Komunikasi Sosial
Kelembagaan sosialisasi pengelolaan tanah terlantar secara fungsional dapat dikembangkan melalui penguatan Fasilitator Komunikasi Sosial (Faskomsos). Faskomsos merupakan kelembagaan masyarakat yang mencakup semua institusi yang tergolong “social capital” yaitu LSM, Lembaga Pendidikan, Organisasi Profesi, dan sebagainya yang diharapkan dapat berfungsi dalam pemberdayaan masyarakat agar mempunyai kemampuan untuk melakukan proses pengambilan keputusan tentang dirinya dan lingkungan hidupnya.
Strategi pengembangan Faskomsos dilakukan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui peningkatan keahlian dan budaya masyarakat sesuai dengan segmentasi kemampuan dalam menggunakan media komunikasi berbasis teknologi komunikasi dan informasi. Dikembangkannya Forum Faskomsos merupakan langkah yang penting, mempunyai fungsi:
I. Sebagai “Liaison” antara Pemerintah Daerah Kabupaten, Desa dengan masyarakat.
II. Sebagai “Social Surveillance” yaitu dalam hal penyampaian informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai berbagai kegiatan pengelolaan tanah terlantar dengan tujuan kontrol, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
III. Sebagai “Social Correlation” yaitu pemberian informasi dan interpretasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya, dengan tujuan mencapai konsensus mengenai pelaksanaan pengelolaan tanah terlantar.
IV. Sebagai “Socialization”, yaitu penyebarluasan nilai-nilai mengenai pengelolaan tanah terlantar ke masyarakat secara luas.
V. Sebagai “Canalization”, yaitu saluran penyampaian aspirasi, tanggapan dan penilaian tentang pelaksanaan pengelolaan tanah terlantar dari masyarakat.
VI. Sebagai “Tailoring”, yaitu memilih, memilah serta mengemas pesan-pesan pengelolaan tanah terlantar sesuai dengan karakteristik segmen kelompok sasaran.
d). Pengembangan sistem komunikasi informasi
Pengembangan sistem komunikasi informasi diperlukan dalam rangka membangun komunikasi dan menyampaikan Informasi tentang pengelolaan tanah terlantar ke berbagai kalangan masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap kegiatan tersebut.
Saat ini muncul media sosialisasi berupa media cetak (surat kabar, mingguan, tabloid, majalah, buletin) maupun media elektronik yang berkembang di berbagai daerah dan bebas menyalurkan pendapat masyarakat sehingga perlu hati-hati dalam memilih media tersebut. Terdapat berbagai pertimbangan dalam pemanfaatan media sosialisasi, di antaranya: (i) aksesibilitas/ kemudahan dijangkau masyarakat, (ii) tingkat pemeliharaan, (iii).akurasi informasi, (iv) aktivitas dalam diseminasi informasi, (v) efektifitas dalam pengumpulan dan manajemen data.

5.6.5 Kemitraan Usaha
Dewasa ini konsep kepemerintahan yang baik (good governance) menjadi salah satu acuan di dalam pengembangan kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Konsep ini juga perlu diacu dalam pendayagunaan tanah terlantar. Institusi dari governance mencakup tiga domain, yaitu State (negara atau pemerintahan), Private Sector (sektor swasta dan dunia usaha), dan Society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk keikutsertaan masyarakat secara individu maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Dalam konteks itulah perlu dilakukan kerjasama melembaga antara Pemerintah Daerah, Badan Usaha Swasta dan masyarakat
Kerjasama antara Pemerintah Daerah, Badan Usaha Swasta dan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan usaha ekonomi di wilayah pedesaan merupakan salah satu alternatif dalam rangka upaya melanjutkan proses pemberdayaan ekonomi masyarakat yang selama ini lebih banyak dilaksanakan dengan pembiayaan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam mengakomodasi pelaksanaan kegiatan di areal HGU yang secara langsung dan tidak langsung telah mendukung latu pertumbuhan perekonomian di wilayah pedesaan, maka diperlukan iklim investasi yang kondusif, adanya perlindungan hukum, kejelasan aturan main dan dapat memberi keamanan bagi para investor sehingga investasi yang ditanamkan terjamin dan menguntungkan semua pihak.
Dalam rangka mengembangkan kerjasama Pemerintah Daerah-Sektor Swasta dan masyarakat perlu disepakati pembagian tugas, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing sesuai perjanjian kerjasama yang disepakati. Pemahaman mengenai kerjasama kemitraan perlu dimiliki oleh seluruh pelaku usaha. Untuk itu perlu dikembangkan Juklak dan Juknis Kemitraan Usaha dalam program pendayagunaan tanah terlantar antara Pemerintah Daerah-Sektor Swasta dan masyarakat. Cakupan Juklak dan Juknis meliputi antara lain:
i) Pengembangan kemitraan pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat.
ii) Bentuk-bentuk kemitraan.
iii) Landasan hukum.
iv) Alokasi resiko kemitraan.
v) Perencanaan dan persiapan.
vi) Pelaksanaan kerjasama kemitraan

Agar kerjasama pengembangan usaha itu, dapat bekerja secara efektif dan efisien diperlukan dukungan program pembangunan daerah yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten/kota serta dukungan APBD untuk pembiayaan manajemen dan dana stimulan.

5.6.6 Penguatan Landasan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Terdapat beberapa masalah teknis operasional yang bersifat eksternal, umumnya berkaitan dengan penafsiran ketentuan PP 36/1998 dan Kep.Ka.BPN 24/2002 antara lain menyangkut belum ada persamaan persepsi pihak terkait terhadap misi dan tujuan penertiban dan pendayagunaan yang diindikasi sebagai tanah terlantar, penetapan jangka waktu dianggap terlalu lama, hak keperdataan bekas pemegang hak yang belum jelas, belum ada sanksi yang tegas terhadap orang pihak yang menelantarkan tanah, masalah asas publisitas, adanya kesempatan mengalihkan tanah kepada pihak lain menyebabkan areal HGU tidak dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar pada penguasa yang baru.
Jika dikaji lebih jauh, aturan mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah di areal perkebunan itu telah lama ditetapkan. Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956 (UU28/56) yang mengatur ketentuan tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan dan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1958 (UU 29/56) mengatur Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah Perkebunan berikut Peraturan Pelaksanaan UU 28/56 dan UU 29/56 berupa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1957 (PP61/57), PP 35/56 mengenai Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi, PP 36/56 tentang peraturan-peraturan dan Tindakan-tindakan mengenai Tanah-tanah Perkebunan Konsesi serta PP 8/60 mengenai Pengubahan PP61/57.
Latar belakang ditetapkannya UU 28/58 adalah bahwa pada saat menjelang dan sesudah dibatalkannya hubungan Indonesia-Nederland berdasarkan perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) dengan UU No 13/1956, banyak terjadi pemindahan hak atas tanah perkebunan. Pemindahan itu tidak menjadi masalah apabila dipindahkan ke warga negara/perusahaan Indonesia, dengan maksud diusahakan secara produktif guna mendukung perekonomian nasional. Namun hal itu tidak dibenarkan apabila tujuan pemindahan itu adalah mengandung unsur spekulasi. Sementara itu, melalui UU No 24/54, telah pula diatur ketentuan bahwa setiap pemindahan hak dan serah pakai tanah yang tunduk pada hukum Eropa, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin Menteri Kehakiman. Jadi pemindahan hak atas tanah perkebunan itu sudah ada pengawasannya. Namun pengawasan oleh Menteri Kehakiman iti, lebih dititik beratkan pada segi juridis, padahal masalah tanah perkebunan juga menyangkut segi teknis lapangan, sehingga diperlukan pula pengawasan oleh Menteri Pertanian. Kewenangan Menteri Pertanian adalah mengusulkan kepada Menteri Kehakiman apabila tidak dipenuhinya ketentuan mengenai pemindahan hak atas perkebunan itu.
Oleh karena itu, dalam peraturan itu ditetapkan bahwa apabila hal itu dilakukan maka perbuatan pemindahan hak itu batal menurut hukum dan dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hak atas tanah perkebunan yang bersangkutan. Pembatalan hak atas tanah perkebunan dilakukan oleh Menteri Agraria. Selanjutnya tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara, bebas dari semua hak-hak pihak ketiga yang membebaninya, seperti hypotheek yang dengan sendirinya menjadi hangus. Dalam surat pembatalan itu, dapat dicantumkan perintah pengosongan yang dijalankan segera oleh juru sita, kalau perlu dengan bantuan polisi. Pembatalan hak yang bersifat hukuman itu dengan sendirinya tidak akan disertai dengan pemberian ganti kerugian.
Selanjutnya mengenai UU 29/58, yang mengatur Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah Perkebunan itu inti pokoknya adalah bahwa tanah-tanah perkebunan dengan hak erpacht, hak eigendom maupun hak-hak kebendaan lainnya yang tidak diusahakan secara layak sesui fungsi perusahaan dalam perekonomian Negara, tidak diperpanjang atau diperbarui haknya, atau dibatalkan haknya. Pelaksanaan ketentuan itu diserahkan pada Menteri Agraria dari segi hukum dan Menteri Pertanian dari segi teknis pertanian. Juga ditegaskan bahwa pembatalan hak yang bersifat hukuman itu dengan sendirinya tidak akan disertai dengan pemberian ganti kerugian.
Mengenai PP 61/57 yang mengatur pelaksanaan UU 28/56 dan UU 29/56, khususnya yang berkaitan dengan pembatalan hak, bahwa di samping pertimbangan aspek hukum dan aspek teknis pertanian juga memerlukan pertimbangan dari aspek perburuhan dan sosial ekonomi setempat. Untuk itu dibentuk panitia di daerah Swatantra tingkat I (sekarang provinsi) dan tingkat pusat. Mengenai peruntukan selanjutnya, Pemerintah berpendirian bahwa dimana perkebunan itu masih dapat dilangsungkan eksploitasinya, sedapat mungkin harus diusahakan pemulihannya. Selama belum ada pihak partikelir yang memenuhi syarat-syarat untuk dapat menjalankan eksploitasi kebun secara layak, untuk sementara diserahkan kepada Pusat Perkebunan Negara untuk mengurus dan mengekploitasi kebun tersebut. Mengenai ganti rugi, Pemerintah berpendirian bahwa penguasaan itu berarti pemilikan sedangkan ganti kerugian hanya diberikan untuk bangunan-bangunan yang diperlukan untuk eksploitasi kebun itu. Untuk tanaman tidak diberikan ganti rugi, karena pemilik semula yang membiarkan perkebunannya, dianggap telah melepaskan haknya atas tanaman sepanjang ia dianggap masih mempunyai sesuatu hak atas tanaman itu. Lagi pula tanaman tersebut dapat dianggap sebagai tanaman yang diselenggarakan oleh pemegang hak erpacht berdasarkan kewajibannya yang bersumber kepada hak erpacht dan karena itu tidak dapat diambilnya setelah hak erpacht berakhir. .
Untuk melaksanakan UU 28/56 dan 29/56 yang diatur lebih lanjut dengan PP 61/57 itu, tidak dapat diselesaikan oleh Departemen Agraria dalam waktu singkat karena harus menunggu lengkapnya pertimbangan dari panitia di daerah. Tertundanya penyelesaian itu sampai berbulan-bulan sehingga menjadikan keadaaan yang tidak menentu dan merugikan pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, diadakan pengubahan melalui PP 8/60 yang memungkinkan Menteri Muda Agraria mengambil keputusan. Klausul penting dalam PP tersebut adalah jangka waktu panitia daerah memberi pertimbangan ke Menteri Muda Agraria dan Menteri Muda Pertanian adalah 2 bulan. Jika dalam waktu tersebut tidak ada laporan pertimbangan dari panitia daerah, maka panitia pusat diberi wewenang untuk melakukan tindakan seperlunya dan menyampaikan pertiombangannya kepada Menteri Muda Agraria dan Menteri Muda Pertanian dalam jangka waktu 3 bulan. Apabila dalam jangka waktu itu tidak ada pertimbangan, maka Menteri Muda Agraria dapat mengambil keputusan. Dalam hal ini hanya diperlukan fatwa dari Menteri Muda Pertanian dan menteri Muda Perburuhan sepanjang menyangkut persoalan buruh pada proses pemindahan hak atas tanahnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa persoalan mengenai kewenangan, jangka waktu dan persoalan pemberian ganti rugi sepanjang menyangkut tanah yang tidak layak diusahakan yang dalam hal ini termasuk tanah yang diindikasi terlantar sudah sejak lama diatur, namun pelaksanaaan dari ketentuan itu yang memerlukan pendalaman, mengapa hal itu terjadi ?
Sebagaimana diketahui, berbagai masalah yang terjadi akibat penafsiran terhadap ketentuan aturan yang telah ditetapkan itu, menurut teori Robert Siedmen seorang ahli hukum sosiologi, menunjukkan bahwa bekerjanya hukum itu belum efektif dalam mengatur (i) bagaimana seseorang pemegang peran (role occupant) itu seharusnya bertindak, (ii) bagaimana pemegang peran itu bertindak sebagai reaksi terhadap peraturan perundang-undangan yang berfungsi mengatur berikut sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan lingkungan yang mempengaruhi, (iii) bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu bertindak sebagai reaksi terhadap keseluruhan kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan lain-lain yang mempengaruhi serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta (iv) bagaimana peran pembuat undang-undang itu bertindak sesuai fungsi yang mengatur tingkah laku mereka, serta pelaksanaan terhadap sanksi-sanksinya, Dalam hubungannya dengan peran perilaku pemegang peran tidak cukup lengkap dijelaskan dari pandangan atau norma serta seperangkat orientasinya, namun sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh seperangkat peran hubungan para pihak, status para pihak, sekuen pelaksanaan dan kepribadian para pelaksana.
Dari uraian itu, dapatlah disimpulkan bahwa penerapan peraturan mengenai tanah terlantar itu, ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu (1) bagaimana substansi dari peraturan itu sendiri, (2) para pelaksana peraturan itu dan (3) kultur masyarakat dalam melaksanakan peraturan tersebut.
Substansi dari peraturan mengenai tanah terlantar sebagaimana ditetapkan dalam secara umum dalam Pasal 15, Pasal 27 dan Pasal 34 UUPA serta Pasal 17 PP 40/96, yang saksinya adalah dicabutnya HGU tersebut. belum ditentukan secara tegas. Ketentuan Pasal 27 UUPA hanya menyebutkan bahwa tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Tidak adanya kriteria yang jelas mengenai tanah terlantar menyebabkan ketentuan hukum mengenai tanah terlantar tidak dapat diterapkan dengan baik. Mengingat di dalam PP 36/98 telah ditetapkan pengertian tanah terlantar, kriteria, tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar serta tindakan terhadap tanah terlantar, maka substansi itu perlu ditegaskan kembali dalam penyempurnaan UUPA serta PP yang terkait. Adapun jangka waktu dari proses identifikasi sampai penetapan tanah terlantar yang memakan waktu lebih dari lima tahun memerlukan peninjauan kembali. Sedangkan pemberian ganti rugi sebesar harga perolehan atau penilaian lain yang jumlahnya ditetapkan Menteri/Kepala BPN juga memerlukan penegasan kembali apakah ditetapkan untuk bangunan dan sarana pendukung sebagaimana dalam UU 28 dan UU 29/56 atau termasuk pula tanamannya.

Upaya penyempurnaan peraturan mengenai tanah terlantar itu, merupakan implikasi dari makna bahwa tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada Bangsa Indonesia sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif.



BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


6.1 Kesimpulan

1. Mengenai pelaksanaan identifikasi tanah terlantar secara juridis, sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif instansi Pusat, Pemerintah Daerah serta masyarakat setempat, penelitian ini menghasilkan disimpulkan sebagai berikut:

a.) Keberadaan tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU skala besar

Analisis terhadap tanah terlantar di tiga provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali, tampak bahwa Propinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan berpotensi besar untuk terjadi tanah terlantar di areal HGU. Penelitian menemukan bahwa terdapat kecenderungan antara luasan HGU yang dikuasai pemegang hak dengan tanah terlantar, dimana. semakin luas HGU yang dikuasai pemegang hak semakin besar pula potensi tanah HGU tersebut cenderung menjadi terlantar.

b.) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar pada penguasaan tanah HGU itu menyangkut masalah teknis manajemen dan sosial-ekonomi.

Ø Faktor teknis manajemen usaha, berkaitan dengan kondisi tanah areal HGU umumnya penggunaan tanah semula adalah alang-alang dan semak belukar yang miskin hara, sehingga memerlukan investasi untuk pembukaan tanah dan teknis manajemen usaha yang memadai.Terdapat indikasi areal HGU yang tanahnya terlantar tidak layak untuk usaha perkebunan. Di beberapa areal HGU, ditemukan pula areal yang tumpang tindih dengan Pertambangan (Batu Bara). Keadaan semacam ini juga dijumpai di Provinsi Sumatera Barat.

Ø Kasus tanah terlantar, juga berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, dimana pemegang HGU tidak mampu mengamankan haknya dan harus berhadapan dengan masyarakat/petani sekitar lokasi HGU yang sudah mengokupasi tanah dan menggarap dengan tanaman tegalan, atau menyadap tanaman karet yang tersisa. Di beberapa tempat, masyarakat menduduki tanah perkebunan dengan alasan belum diberikan ganti kerugian atau mengklaim sebagai tanah milik masyarakat adat setempat. Akibat okupasi itu, luasan HGU di bawah skala usaha ekonomi sehingga produktivitasnya menurun dan akhirnya semakin luas kebun yang tidak dipelihara dengan baik.


c.) Pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar saat ini belum efektif karena adanya kendala teknis operasional secara internal dan eksternal serta koordinasi pelaksanaan dengan instansi terkait

Ø Kendala teknis operasional secara interlan itu antara lain belum ada struktur organisasi.unit kerja yang secara langsung menanganinya di tingkat Kanwil BPN Provinsi maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, belum ada aturan pembiayaan, terdapat SK Pemberian Hak dan Gambar Situasi (GS) yang sulit atau bahkan tidak dapat ditemukan lagi di daerah, belum ada laporan sebagai bentuk pengaduan adanya tanah terlantar dan sulit mencari alamat pemegang HGU yang tanahnya diduga terlantar, sebab telah berpindah alamat dari alamat saat mengajukan permohonan hak.
Ø Adapun kendala teknis operasional yang bersifat eksternal, umumnya berkaitan dengan penafsiran ketentuan PP 36/1998 dan Kep.Ka.BPN 24/2002 antara lain menyangkut penetapan jangka waktu areal HGU yang diindikasi sebagai tanah terlantar dianggap terlalu lama, .perlindungan hak keperdataan bekas pemegang hak berkaitan dengan pemberian ganti rugi, belum ada sanksi yang tegas terhadap orang atau badan hukum yang menelantarkan tanah dan adanya kesempatan mengalihkan tanah kepada pihak lain menyebabkan areal HGU tidak dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar pada penguasa yang baru.
Ø Masalah koordinasi dengan instansi terkait juga timbul beberapa masalah, antara lain dalam pembentukan Panitia Penilai posisi kunci umumnya berada di instansi lain menyebabkan kantor pertanahan tidak mempunyai kewenangan memutuskan, masih rendahnya respon instansi teknis terhadap penanganan tanah terlantar karena bukan menjadi tanggung jawabnya serta masih lemahnya pemerintah daerah sebagai koordinator penanganan tanah terlantar.

2. Mengenai disain penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar saat kini.

a) Disain penertiban dan pendayagunaan saat kini menunjukkan bahwa perangkat peraturan perundangan yang diharapkan sebagai piranti untuk memberikan kepastian terhadap tindakan-tindakan hukum dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar saat ini belum efektif dalam memenuhi kepastian, keadilan dan kemanfaatan Hal ini terbukti dengan berbagai kendala juridis dalam pelaksanaaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di areal HGU.

b) Terdapat beberapa masalah teknis operasional yang bersifat eksternal, umumnya berkaitan dengan penafsiran ketentuan PP 36/1998 dan Kep.Ka.BPN 24/2002 antara lain menyangkut belum ada persamaan persepsi pihak terkait terhadap misi dan tujuan penertiban dan pendayagunaan yang diindikasi sebagai tanah terlantar, penetapan jangka waktu dianggap terlalu lama, hak keperdataan bekas pemegang hak yang belum jelas, belum ada sanksi yang tegas terhadap orang pihak yang menelantarkan tanah, masalah asas publisitas, adanya kesempatan mengalihkan tanah kepada pihak lain menyebabkan areal HGU tidak dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar pada penguasa yang baru.


6.2 Rekomendasi

1. Disain penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang diharapkan

Pemberian SK dan Sertipikat HGU tidak hanya dipandang pada aspek hukum normatif yang bersifat hak-hak keperdataan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada pemegang HGU tersebut untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya guna memperoleh manfaat usahanya sekaligus juga memberi manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Maka diperlukan upaya secara jurudis sekaligus sosiologis dan ekonomis dalam suatu kelembagaan koordinatif.

a. Aspek juridis itu dengan menegakkan hak dan kewajiban secara eksplisit sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang HGU yang dicantumkan dalam SK HGU.atau Sertipikat HGU.
b. Aspek sosiologis dengan menegakkan hak dan kewajiban untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
c. Aspek ekonomis dengan mempercepat pembangunan wilayah pedesaan melalui pengembangan pusat-pusat pemasaran produksi pertanian yang ddukung dengan kebijakan pengembangan kawasan komoditi andalan di areal HGU dan sekitarnya.

Untuk itu diperlukan pengintegrasian antara Rencana Strategis Pembangunan Wilayah Kabupaten di sektor pertanian dan pedesaan yang mengacu kepada ”resource base development” dengan ”community base development”. Community base development itu, dilakukan dengan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi masyarakat di areal HGU dengan dukungan pengembangan kelembagaan pada tingkat terbawah, yaitu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mendorong berfungsinya pengawasan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar oleh pemerintah desa dan masyarakat setempat.

2. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam mengakomodasi pelaksanaan kegiatan di areal HGU yang secara langsung dan tidak langsung telah mendukung laju pertumbuhan perekonomian di wilayah pedesaan, maka diperlukan iklim investasi yang kondusif, adanya perlindungan hukum, kejelasan aturan main dan dapat memberi keamanan bagi para investor sehingga investasi yang ditanamkan terjamin dan menguntungkan semua pihak. Untuk itu diperlukan kemitraan usaha dalam program pendayagunaan tanah terlantar antara Pemerintah Daerah-Sektor Swasta dan masyarakat sekitar areal HGU. Agar kerjasama pengembangan usaha itu dapat bekerja secara efektif dan efisien diperlukan dukungan program pembangunan daerah yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten/kota serta dukungan APBD untuk pembiayaan manajemen dan dana stimulan. yang dilengkapi pula dengan Juklak dan Juknis.

3. Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan tanah terlantar diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, yang meliputi:

a) Pengembangan disain sosialisasi penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, yang bertujuan agar masyarakat secara bertahap mengetahui, memahami maupun mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan menyeluruh dalam pengelolaan tanah terlantar sehingga terjadi kesamaan persepsi dan pola pengambilan manfaat ekonomi atas sumberdaya ekonomi di areal HGU.
b) Penguatan kelembagaan kelompok masyarakat sekitar lokasi HGU, dengan tujuan agar sistem sosialisasi pengelolaan tanah terlantar dapat diterima masyarakat secara demokrasi, tanpa distorsi dengan menumbuh-kembangkan partisipasi masyarakat.
c) Pengembangan kemampuan masyarakat melalui peningkatan keahlian dan budaya masyarakat sesuai dengan segmentasi kemampuan teknis dan manajemen usaha serta kemampuan berkomunikasi sosial..
d) Pengembangan sistem komunikasi informasi diperlukan dalam rangka membangun komunikasi dan menyampaikan Informasi tentang pengelolaan tanah terlantar ke berbagai kalangan masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap kegiatan tersebut.

4. Substansi dari peraturan mengenai tanah terlantar sebagaimana ditetapkan dalam secara umum dalam Pasal 15, Pasal 27 dan Pasal 34 UUPA serta Pasal 17 PP 40/96, yang saksinya adalah dicabutnya HGU tersebut. belum ditentukan secara tegas. Mengingat di dalam PP 36/98 telah ditetapkan pengertian tanah terlantar, kriteria, tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar serta tindakan terhadap tanah terlantar, maka substansi itu perlu ditegaskan kembali dalam penyempurnaan UUPA serta PP yang terkait. Adapun jangka waktu dari proses identifikasi sampai penetapan tanah terlantar yang memakan waktu lebih dari lima tahun memerlukan peninjauan kembali. Sedangkan pemberian ganti rugi sebesar harga perolehan atau penilaian lain yang jumlahnya ditetapkan Menteri/Kepala BPN juga memerlukan penegasan kembali apakah ditetapkan untuk bangunan dan sarana pendukung sebagaimana dalam UU 28 dan UU 29/56 atau termasuk pula tanamannya.



Daftar Bacaan

A. Buku Pustaka
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan, Jakarta.
Chambers C. 2001. an Introduction of Property Law in Australia, LBC Information Service.
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System A Sosial Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York,
Kitay Michael. G. 1985. Land Acquisition in Developing Countries. Oelgeschloger, Gun & Hain, Boston, USA.
Muchtar Wahid, 2005. Analisis Deskriptif Terhadap Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Penelitian Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Peter Butt. 2001. Land Law, Fourth Edition, Law Book Co, NSW.
Risnarto, 1999. Pengelolaan Pertanahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional.
-----------, 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Pertanahan.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional.
------------, 2005 Kumpulan Peraturan Mengenai Tanah Terlantar. Tidak Dipublikasi
Sedarmayanti, 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Mandar Maju. Bandung.
Singgih Praptodihardjo 1979. Latar Belakang Kebijaksanaan Pemerintah dalam Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria. Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria.


B. Makalah/Paper

Benny. 2005. Pembahasan Terhadap Laporan kajian Pelaksanaan Pendayagunaan dan Penertiban Tanah Terlantar. Disajikan pada Seminar Tanah Terlantar di Semarang. Tanggal 1 Oktober 2005.
------------------. Kebijakan Pengendalian dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat. 2004
Dody Imron Cholid. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Provinsi Kalimantan Selatan. Disajikan pada Seminar Tanah Terlantar di Semarang. Tanggal 1 Oktober 2005.


C. Laporan

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat. 2004
Hasil FGD Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional.
2005